Tuesday, March 3, 2015

TOKOH TOKOH LOGIKA DALAM NEGERI

Tokoh-Tokoh Logika
Dalam Negeri


 











Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Logika
Dosen Pembimbing : Taqiyudin, M.Aq
Disusun oleh
1.      Aji Juarjono
2.      Siti F
3.      Siti N
4.      Ilham Amanat
5.      Nur Hikmah

Kelas : 1 C Tarbiah/Syariah
SEKOLAH TINGGI ISLAM SUFYAN TSAURI
(STAIS)
JL. KH. Sufyan Tsauri Cibeunying Telp. (0280) 623562 Majenang 53257






BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Logika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu ini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Dengan adanya logika kita dapat berfikir dan mengambil keputusan yang benar dan tepat dalam memenuhi hajat hidup kita sendiri dan juga masyakat umumnya kita dapat mengartikan dan mengambil kesimpulan setelah melalui pemikiran-pemikiran atau pernyataan-pernyataan yang ada, dan kebenaran-kebenaran akan muncul.
Dalam makalah ini akan dijelaskan sejarah logika pada Masa Yunani Kuno, Masa Pertengahan dan Masa Modern serta Pertumbuhan Dan Perkembangan Logika Pada Masa Islam.

1.2.Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Biografi Nurcholis Madjid ?
2.      Bagaimana Biografi Abdurrahman Wahid ?
3.      Bagaimana Pemikiran Nurcholis Madjid ?
2.      Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid ?
1.3.Tujuan

1.   Untuk mengetahui Pemikir dalam Negeri
2.   Untuk mengetahui dan memahami sejarah dan perkembangan logika.
3.   Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang sejarah logika


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. BIOGRAFI
2.1.1 Nurcholish Madjid
Sebagai tokoh intelektual, Nurcholish Madjid (Cak Nur) memiliki pemahaman keagamaan yang terbuka. Ia selalu mengembangkan proses keagamaan itu sebagai pembebasan. Yakni membebaskan diri dari segala kekuatan tirani yang membelenggu kebebasan kita. Pada usianya yang muda ia sudah mengguncang wacana pemikiran Islam di tanah air. Berangkatdari dunia pesantrenyangtradisional ia justru menyadarkan masyarakat Indonesia modern akan pentingnya keberanian menyuarakan moralitas politik. Dan, belakangan ia menganggap berpolitik tidak mungkin tanpa keberanian, kejujuran dan keikhlasan untuk selalu menerima kritikan dari mana pun.
Cak Nur dilahirkan di Mojoanyar-Jombang pada 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H. Ia dibesarkan dari latar keluarga pesantren. Ayahnya bernama Abdul Madjid, seorang kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang. Ayahnya murid pendiri NU yang kharismatik itu. Lebih dari itu, ayahnya dinikahkan dengan Halimah, seorang wanita keponakan gurunya.
Sketsa singkat latar belakang Cak Nur cukuplah untuk menunjukkan bahwa ia lahir dari subkultur pesantren. Cak Nur mengakui bahwa ia pertama kali beragama lewat ayah dan ibunya sendiri. Kebetulan mereka berdua memang mendirikan Madrasah sendiri pada tahun 1948 dan Cak Nur adalah salah seorang muridnya. Selain itu, ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (SR) di kampungnya.
Selanjutnya, setamat SR 1952 ia di masukkan ayahnya ke pesantren Darul Ulum, Rejoso Jombang. Namun, di Darul Ulum Cak Nur hanya bertahan selama dua tahun dan sempat menyelesaikan tingkat Ibtidaiyah, lalu melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah. Ada dua alasan, yang menurut Cak Nur, mengapa ia hanya bertahan dua tahun nyatri di sana. Pertama, karena kesehatan dan Kedua, karena ideologi atau politik.
Namun, tampaknya alasan politiklah yang agaknya cukup menarik melihat sikap Cak Nur tersebut. Seperti kita tahu, pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan sejak itu NU barubah peran dari jam'iyah keagamaan menjadi partai politik. Ayah Cak Nur secara bersamaan aktif di organisasi tradisional Islam NU berpisah secara politis dengan Masyumi tahun 1952, ayahnya tetap memilih Masyumi dan mengirim anaknya dari pesantren tradisional ke sekolah modern yang masyhur Gontor. Saat itu, ayah Cak Nur yang kebetulan aktivis berat Masyumi merasa ‘kecewa' kepada NU ketika organisasi itu keluar dari Masyumi dan membentuk partai politiknya sendiri. Karena ulah sang ayah inilah, Cak Nur sering diledek teman-temannya yang NU sebagai "anak Masyumi kesasar".
Cak Nur mengakui bahwa di gontor ia selalu meraih prestasi yang cukup baik. Dan kecerdasan Cak Nur ini rupanya ditangkap pula oleh Pimpinan Pesantren KH. Zarkasyi. Sehingga pada 1960, ketika Cak Nur menamatkan belajarnya, sang guru bermaksud mengirim Cak Nur ke Universitas Al-Azhar, Kairo. Tetapi karena Kairo pada wakti itu sedang terjadi krisis Terusan Suez yang cukup kontroversial itu, keberangkatan Cak Nur sampai tertunda. Sambil menunggu keberangkatannya ke Mesir itulah, Cak Nur memanfaatkan untuk mengajar di Gontor selama satu tahun. Namun, waktu yang ditunggu-tunggu Cak Nur untuk berangkat ke Mesir ternyata tak kunjung tiba.
Pernah terbetik berita bahwa kala itu di Mesir memperoleh visa, sehingga tidak memungkinkan Cak Nur pergi ke Mesir. Cak Nur sendiri, memang sempat kecewa. Tapi, pak Zarkasyi bisa ‘menghibur'nya dan rupanya tak kehilangan akal. Lalu ia mengirim surat ke IAIN Jakarta dan meminta agar murid kesayangannya bisa diterima di lembaga pendidikan tinggi Islam bergengsi itu. Maka berangkat dari salah satu alumni santri Gontor yang ada di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cak Nur kemudian diterima sebagai mahasiswa di sana, meskipun tanpa menyandang izajah negeri.

2.1.2 Abdurrahman Wahid
Sebagai cucu pendiri NU, Abdurrahman wahid (Gus Dur) memiliki legitemasi yang sangat kuat dari kalangan Nahdhiyin. Sosok pemikirannya sulit diterka dan dijangkau oleh manusia biasa. Dalam perjalanan kiprahnya, Gus Dur lebih dekat pada kaum termarginal dan kultural. Ia lebih terhibur dengan kelompok yang selama ini terpinggirkan oleh deru mesin pemerintahan. Gagasan yang sempat mencuat pada tahun 70-an Gus Dur adalah seorang penganut Humanisme.
Gagasan-gagasan yang digelindingkan adalah seputar wacana Kiri Islam. Meskipun berangkat dari alam tradisonal, ia memiliki informasi yang cukup luas. Dibandingkan dengan tokoh yang lain, Gus Dur mempunyai karakter yang agak controversial dan nyeleneh di pentas politik Indonesia.
Gus Dur dilahirkan di Denanyar-Jombang 12 Agustus 1940, putra pasangan K.H. Wahid Hasyim. Meskipun sebagai putra Mentri Agama (1950), ia tidak merasa termanjakan dengan jabatan ayahnya. Justru, ia memilih tinggal bersama kakeknya (Bisri Syamsuri) di Jombang.
Gus Dur mempunyai kegemaran malahap buku-buku, dari buku yang bernafas agama sampai buku filsafat. Di samping itu, hobi yang sangat disenangi diantaranya adalah seni, olah raga dan musik. Tak heran kalau Gus Dur sering melespakan job-job segar yang membuat orang tertawa.
Pendidikan yang pernah dikenyak Gus Dur mulai dari pesantren (Denanyar dan Tegalrejo), SMEP Yogyakarta, sampai ke Al -Azhar Mesir. Di mesir, Gus Dur mengambil spesialisasi bidang Syari'ah. Namun setelah tujuh tahun belajar, ternyataia merasa tak betah belajar di Mesir. Sebab menurutnya materi yang diajarkan di sana tak ubahnya ibarat pesantren. Di sana, ia lebih menyempatkan diri untuk membawa buku diperpustakaan di Kairo. Sedang waktu selebihnya, dimanfaatkan untuk nonton film yang bagus. Meski demikian, bagi Gus Dur belajar di Mesir bukan tanpa kesan. Menurut pengakuannya, di Mesir itulah ia banyak memperoleh paham "sosialisme yang berbudaya". Orang-orang Arab, menurut Gus Dur, sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya. Hal itu dilakukan karena mereka tak punya tempat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama.
Merasa tak betah belajar di Mesir, Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas Bagdad, Fakultas Sastra. Di Universitas tersebut, Gus Dur merasakan kepuasan dan dapat mengoleksi referensi buku yang lebih lengkap.
Dari literatur itulah, Gus Dur kemudian mengapresiasikan ide-ide yang bercorak sosialisme dan marxisme. Sewaktu ia mengaku sudah membaca karya cukup radikal seperti Pemberontakan Petani. Berangkat dari pemehaman inilah Gus Dur berkeyakinan bahwa sosialisme lebih bertolak pada visi budaya daripada ideologis. Tak heran, karena apresiasi yang kritis terhadap pemikiran-pemikiran sosilisme radikal, ia berpandangan itu merupakan perangkat analisis yang penting guna memahami keadaan.

2.2. PEMIKIRAN
2.2.1. Nurcholis Madjd
Secara disipliner, Cak Nur lebih menitik beratkan pada kajian filsafat Islam dan sosiologi modern (Barat), disamping giat mengakses kembali tradisi klasik Islam. Gagasan Cak Nur dalam pemikiran Islam menginginkan adanya persambungan Islam dengan kemoderenan. Umat Islam harus apresiatif terhadap kemoderenan.
Sementara itu, ia menganjurkan umat Islam agar memiliki respons terhadap Barat. Dengan melihat kenyataan sebenarnya seperti; Etos kerja, hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peradabannya sekaligus. Bertolak dari idenya itu, ia menganjurkan supaya umat Islam dapat mengawinkan metodologi studi Islam klasik dengan studi Islam modern.
Gagasan ini mulai mantap ketika ia pulang dari Chicago dan memperoleh doktor dibidang filsafat Islam. Gagasan itu juga ditunjang berdasarkan sejumlah studi Islam klasik, sehingga kemoderenan diberi makna baru, dalam pengertian bahwa kemoderenan bukan lagi lawan tradisionalisme yang, dalam batang tubuh umat Islam, selalu dinisbatkan kepada pesantren. Kemoderenan menurut Cak Nur dipahami sebagai persambungan antara visi lama dengan visi baru.

2.2.2. Abdurrahman Wahid
Semenjak pulang dari Mesir, Gus Dur langsung terjun ke dunia pesantren, karena gagasan-gagasan awalnya ia berasal dari pesantren. Usaha memodernisasikan pesantren melalui berbagai kerjasama baik dengan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat merupakan garapan utama dan pertama Gus Dur. Di samping itu, ia mempunyai komitmen terhadap gagasan pengembangan masyarakat.

Tranformasi sosio-kultural bagi kalangan masyarakat bawah adalah obsesi yang demikain kental mewarnai berbagai pemikiran Gus Dur. Usahanya dalam membentuk BPR NU bekerjasama dengan Nusuma dan keterlibatannya diberbagai forum LSM, dalam dan luar negeri.
Sementara itu, Gus Dur dalam memandang realitas selalu mengaitkan dengan fiqh. Karenanya ia menampung segala persoalan dipecahkan melalui jalan kefiqhian bukan teologis. Salah satu keperpihakan Gus Dur adalah ia dekat dengan kaum pinggiran yang secara budaya adalah masyarakat tradisonal.



PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

I.             PENDAHULUAN

Perkembangan masyarakat dunia yang semakin cepat secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan perubahan besar pada berbagai bangsa  di dunia. Gelombang besar kekuatan internasional dan transnasional melalui globalisasi telah mengancam bahkan menguasai eksistensi negara-negara kebangsaan, termasuk Indonesia. Akibat yang langsung terlihat adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan kebangsaan, karena adanya perbenturan kepentingan antara nasionalisme dan internasionalisme.
Permasalahan kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia menjadi semakin kompleks dan rumit manakala ancaman internasional yang terjadi di satu sisi, pada sisi yang lain muncul masalah internal yaitu maraknya tuntutan rakyat,  yang secara obyektif mengalami suatu kehidupan yang jauh dari kesejahteraan  dan keadilan sosial.
Paradoks antara kekuasaan global dengan kekuasaan nasional ditambah konflik internal seperti gambaran di atas mengakibatkan suatu tarik menarik kepentingan yang secara langsung mengancam jati diri bangsa. Nilai-nilai baru yang masuk baik secara subyektif maupun obyektif  serta terjadinya pergeseran nilai di masyarakat pada akhirnya mengancam prinsip-prinsip hidup berbangsa masyarakat Indonesia.
 Prinsip-prinsip dasar yang telah ditemukan oleh peletak dasar (the founding fathers) negara Indonesia yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat bernegara itulah Pancasila. Dengan pemahaman demikan maka Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia saat ini mengalami ancaman dari munculnya nilai-nilai baru dari luar dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi.
Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat, suatu bangsa, senantiasa memiliki suatu pandangan hidup atau filsafat hidup masing-masing , yang berbeda dengan bangsa lain di dunia dan hal inilah yang disebut sebagai local genius (kecerdasan/kreatifitas lokal) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan lokal) bangsa. Dengan demikian bangsa Indonesia tidak mungkin memiliki kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup dengan bangsa lain.

 Ketika para pendiri negara Indonesia menyiapkan berdirinya negara Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental ‘di atas dasar apakah negara Indonesia merdeka ini didirikan’. Jawaban atas pertanyaan mendasar ini akan selalu menjadi dasar dan tolok ukur utama  bangsa ini meng-Indonesia. Dengan kata lain jati diri bangsa akan selalu bertolok ukur kepada  nilai-nilai Pancasila sebagai filsafat bangsa.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Pemahaman demikian memerlukan pengkajian lebih lanjut menyangkut aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi dari kelima sila Pancasila. 

II.           PENGERTIAN FILSAFAT

Secara etimologis istilah ”filsafat“ atau dalam bahasa Inggrisnya “philosophi” adalah berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” kata philosophia tersebut berakar pada kata “philos”  (pilia, cinta) dan “sophia” (kearifan). Berdasarkan  pengertian bahasa tersebut filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia
a.      Filsafat Pancasila
Menurut Ruslan Abdulgani, bahwa Pancasila  merupakan filsafat negara yang lahir sebagai collectieve Ideologie (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa Indonesia. Dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding father kita, kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat. Sedangkan menurut Notonagoro, Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakekat dari Pancasila.
b. Karakteristik Sistem Filsafat Pancasila
Sebagai filsafat, Pancasila memiliki karakteristik sistem filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat lainnya, yaitu antara lain :
- Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh (sebagai suatu totalitas). Dengan pengertian lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan Pancasila.
-  Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan sebagai berikut :
 











Dalam susunan yang lain dapat juga digambarkan sebagai berikut :
 








 
Atau dapat digambarkan sebagai berikut :







Ketiga gambar di atas menunjukkan bahwa :
·         Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2, 3, 4, 5
·         Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4, 5
·         Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5
·         Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, 3 dan mendasari dan menjiwai sila 5
·         Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, 3, 4
·          
-     Pancasila sebagai suatu substansi, artinya unsur asli/permanen/primer Pancasila
      sebagai suatu yang ada mandiri, yang unsur-unsurnya berasal dari dirinya sendiri.
-     Pancasila sebagai suatu realita, artinya ada dalam diri manusia Indonesia dan masyarakatnya, sebagai suatu kenyataan hidup bangsa, yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari.

Inti sila-sila Pancasila meliputi :
1.      Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
2.      Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
3.      Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri
4.      Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong
5.      Adil, yaitu memberikan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
            c.   Hakikat Nilai-nilai Pancasila
   Nilai adalah suatu ide atau konsep tentang apa yang seseorang pikirkan merupakan hal yang penting dalam hidupnya. Nilai dapat berada di dua kawasan : kognitif dan afektif. Nilai adalah ide, bisa dikatakan konsep dan bisa dikatakan abstraksi (Sidney Simon, 1986). Nilai merupakan hal yang terkandung dalam hati nurani manusia yang lebih memberi dasar dan prinsip akhlak yang merupakan standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati (potensi). Langkah-langkah awal dari “nilai” adalah seperti halnya ide manusia yang merupakan potensi pokok human being. Nilai tidaklah tampak dalam dunia pengalaman. Dia nyata dalam jiwa manusia. Dalam ungkapan lain ditegaskan oleh Sidney B. Simon (1986) bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan nilai adalah jawaban yang jujur tapi benar dari pertanyaan “what you are really, really, really, want.”
        Studi tentang nilai termasuk dalam ruang lingkup estetika dan etika. Estetika cenderung kepada studi dan justifikasi yang menyangkut tentang manusia memikirkan keindahan, atau apa yang mereka senangi. Misalnya mempersoalkan atau menceritakan si rambut panjang, pria pemakai anting-anting, nyanyian-nyanyian bising dan bentuk-bentuk seni lain. Sedangkan etika cenderung kepada studi dan justifikasi tentang aturan atau bagaimana manusia berperilaku. Ungkapan etika sering timbul dari pertanyaan-pertanyaan yang mempertentangkan antara benar salah, baik-buruk. Pada dasarnya studi tentang etika merupakan pelajaran tentang moral yang secara langsung merupakan pemahaman tentang apa itu benar dan salah.
        Bangsa Indonesia sejak awal mendirikan negara, berkonsensus untuk memegang dan menganut Pancasila sebagai sumber inspirasi, nilai dan moral bangsa. Konsensus bahwa Pancasila sebagai anutan untuk pengembangan nilai dan moral bangsa ini secara ilmiah filosofis merupakan pemufakatan yang normatif. Secara epistemologikal bangsa Indonesia punya keyakinan bahwa nilai dan moral yang terpancar dari asas Pancasila ini sebagai suatu hasil sublimasi dan kritalisasi dari sistem nilai budaya bangsa dan agama yang kesemuanya bergerak vertikal dan horizontal serta dinamis dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya untuk mensinkronkan dasar filosofia-ideologi menjadi wujud jati diri bangsa yang nyata dan konsekuen secara aksiologikal bangsa dan negara Indonesia berkehendak untuk mengerti, menghayati, membudayakan dan melaksanakan Pancasila. Upaya ini dikembangkan melalui jalur keluarga, masyarakat dan sekolah.
Refleksi filsafat yang dikembangkan oleh Notonegoro untuk menggali nilai-nilai abstrak, hakikat nilai-nilai Pancasila, ternyata kemudian dijadikan pangkal tolak pelaksanaannya yang  berujud konsep pengamalan yang bersifat subyektif dan obyektif. Pengamalan secara obyektif adalah pengamalan di bidang kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan, yang penjelasannya berupa suatu perangkat ketentuan hukum yang secara hierarkhis berupa pasal-pasal UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang Organik dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Pengamalan secara subyektif adalah pengamalan yang dilakukan oleh manusia individual, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat ataupun sebagai pemegang kekuasaan, yang penjelmaannya berupa tingkah laku dan sikap dalam hidup sehari-hari.
Nilai-nilai yang bersumber dari hakikat Tuhan, manusia, satu rakyat dan adil dijabarkan menjadi konsep Etika Pancasila, bahwa hakikat manusia Indonesia adalah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi Ketuhanan Yang Maha Esa, berperi Kemanusiaan, berperi Kebangsaan, berperi Kerakyatan dan berperi Keadilan Sosial. Konsep Filsafat Pancasila dijabarkan menjadi sistem Etika Pancasila yang bercorak normatif.
Cabang-cabang filsafat meliputi:
a.    Epistemologi (filsafat pengetahuan)
b.    Etika (filsafat moral)
c.    Estetika (filsafat seni)
d.    Metafisika (membicarakan tentang segala sesuatu dibalik yang ada)
e.    Politik (filsafat pemerintahan)
f.     Filsafat Agama
g.    Filsafat Ilmu
h.    Filsafat Pendidikan
i.      Filsafat hukum
j.      Filsafat Sejarah
k.    Filsafat Matematika
l.      Kosmologi (membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang teratur)
Aliran Filsafat meliputi :
a. Rationalisme           f. Stoisme                           i.  Materialisme
b. Idealisme                g. Marxisme                        j. Utilitarianisme
c. Positivisme              h.  Realisme                        k. Spiritualisme           
d. Eksistensialisme                                                 l.  Liberalisme
e. Hedonisme

III.       KAJIAN ONTOLOGIS

Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika.
Masalah ontologis antara lain: Apakah hakikat sesuatu itu? Apakah realitas yang ada tampak ini suatu realitas sebagai wujudnya,  yaitu benda? Apakah ada suatu rahasia di balik realitas itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup? Dan seterusnya.
Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan) manusia, benda, alam semesta (kosmologi), metafisika.
Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakekat dasar dari sila sila Pancasila. Menurut Notonagoro hakekat dasar ontologis Pancasila adalah manusia. Mengapa ?, karena manusia merupakan subyek hukum pokok dari sila sila Pancasila.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berkeuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian yang adil dan beradab, berkesatuan indonesia, berkerakyatan yaang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada hakekatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).
Jadi secara ontologis hakekat dasar keberadaan dari sila sila Pancasila adalah manusia. Untuk hal ini Notonagoro lebih lanjut mengemukakan bahwa manusia sebagai pendukung pokok sila sila Pancasila secara ontologi memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Juga sebagai makluk individu dan sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makluk pribadi dan sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila sila Pancasila (Kaelan, 2005).
Selanjutnya Pancasila secagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai makluk individu sekaligus juga sebagai makluk sosial, serta kedudukannya sebagai makluk pribadi yang berdiri sendiri juga sekaligus sebagai maakluk Tuhan. Konsekuensinya segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai nilai  Pancasila yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat manusia yang monodualis tersebut.
Kemudian seluruh nilai nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan bersumberkan pada nilai nilai Pancasila, seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, tugas dan kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum negara, moral negara dan segala sapek penyelenggaraan negara lainnya.

IV.       KAJIAN EPISTIMOLOGI

Kajian epistimologi filsafat  pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakekat pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena  epistimologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakekat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistimologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu dasar epistimologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakekat manusia.

Menurut Titus(1984: 20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistimologi yaitu :
1.      tentang sumber pengetahuan manusia;
2.      tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
3.      tentang watak pengetahuan manusia.
 Epistimologi Pancasila sebagai suatu obyek kajian pengetahuan pada hakekatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa materialis Pancasila.
Selanjutnya susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, dimana :
o   Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya
o   Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima
o   Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama, kedua serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima
o   Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima
o   Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Demikianlah maka susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga mennyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberilandasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakekatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistimologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi.
Selanjutnya kebenaran dan pengetahuan manusia merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi.
Selain itu dalam sila ketiga, keempat dan kelinma, maka epistimologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakekat sifat kodrat manusia  sebagai mahluk individu dan mahluk sosial.
Sebagai suatu paham epistimologi, maka Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila secara epistimologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi dewasa ini. 

V.           KAJIAN AKSIOLOGI

 Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakekatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan suatu kesatuan. Selanjutnya aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam kajian filsafat dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat juga diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodnes), dan kata kerja yang artinya sesuatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian ( Frankena, 229).
Di dalam Dictionary of sociology an related sciences dikemukakan bahwa nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Sesuatu itu mengandung nilai, artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu, misalnya; bunga itu indah, perbuatan itu baik. Indah dan baik adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan  pengertian nilai. Kalangan materialis memandang bahwa hakekat nilai yang tertinggi adalah nilai material, sementara kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat dikelompokan pada dua macam sudut pandang, yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia. Hal ini bersifat subjektif, namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakekatnya sesuatu itu melekat pada dirinya sendiri memang bernilai. Hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
      Notonagoro merinci tentang nilai ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada yang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Nilai material relatif lebih mudah diukur menggunakan panca indra maupun alat pengukur. Tetapi nilai yang bersifat rohaniah sulit diukur, tetapi dapat juga dilakukan dengan hati nurani manusia sebagai alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, dan karsa serta keyakinan manusia (Kaelan, 2005).
      Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis seperti nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sisttematik-hierarkhis, dimana sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari semua sila-sila Pancasila (Darmodihardjo, 1978).
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu telah menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan menusia dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia.
     

VI.        FILSAFAT PANCASILA DALAM KONTEKS PKN

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental dan menyeluruh. Untuk itu sila-sila Pancasila merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat bulat dan utuh, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi serta makna yang utuh.
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, yang merupakan masyarakat hukum (legal society).
Adapun negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga negara sebagai persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan untuik mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk yang berbudaya atau mahluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu organisasi hidup manusia harus membentuk suatu ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup dalam  suatu wilayah negara tertentu. Konsekuensinya dalam hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Maka negara harus bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama, maka dalam hidup kenegaraan harus mewujjudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warga, sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama/kehidupan (hakikat sila kelima) 


DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji, 1996, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Fukuyama, F. 1989, The End of History, dalam National Interest, No. 16 (1989), dikutip dari Modernity and Its Future, H. 48, Polity Press, Cambridge.

Kaelan, 2005,  Filsafat Pancasila sebagai Filasfat Bangsa Negara Indonesia, Makalah pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta.
Notonagoro, 1971, Pengertian Dasar bagi Implementasi Pancasila untuk ABRI, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta.

Poespowardoyo, Soeryanto, 1989, Filsafat Pancasila, Gramedia, Jakarta.

Pranarka, A.W.M., 1985, Sejarah Pemikiran tantang Pancasila, CSIS, Jakarta.

Suseno, Franz, Magnis, 1987, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Modern, PT Gramedia, Jakarta.

Titus Harold, and Marilyn S., Smith, Richard T. Nolan, 1984, Living Issues Philosophy, diterjemahkan oleh Rasyidi, Penerbit bulan Bintang, Jakarta.