Tuesday, March 3, 2015

TOKOH TOKOH LOGIKA DALAM NEGERI

Tokoh-Tokoh Logika
Dalam Negeri


 











Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Logika
Dosen Pembimbing : Taqiyudin, M.Aq
Disusun oleh
1.      Aji Juarjono
2.      Siti F
3.      Siti N
4.      Ilham Amanat
5.      Nur Hikmah

Kelas : 1 C Tarbiah/Syariah
SEKOLAH TINGGI ISLAM SUFYAN TSAURI
(STAIS)
JL. KH. Sufyan Tsauri Cibeunying Telp. (0280) 623562 Majenang 53257






BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Logika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu ini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Dengan adanya logika kita dapat berfikir dan mengambil keputusan yang benar dan tepat dalam memenuhi hajat hidup kita sendiri dan juga masyakat umumnya kita dapat mengartikan dan mengambil kesimpulan setelah melalui pemikiran-pemikiran atau pernyataan-pernyataan yang ada, dan kebenaran-kebenaran akan muncul.
Dalam makalah ini akan dijelaskan sejarah logika pada Masa Yunani Kuno, Masa Pertengahan dan Masa Modern serta Pertumbuhan Dan Perkembangan Logika Pada Masa Islam.

1.2.Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Biografi Nurcholis Madjid ?
2.      Bagaimana Biografi Abdurrahman Wahid ?
3.      Bagaimana Pemikiran Nurcholis Madjid ?
2.      Bagaimana Pemikiran Abdurrahman Wahid ?
1.3.Tujuan

1.   Untuk mengetahui Pemikir dalam Negeri
2.   Untuk mengetahui dan memahami sejarah dan perkembangan logika.
3.   Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang sejarah logika


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. BIOGRAFI
2.1.1 Nurcholish Madjid
Sebagai tokoh intelektual, Nurcholish Madjid (Cak Nur) memiliki pemahaman keagamaan yang terbuka. Ia selalu mengembangkan proses keagamaan itu sebagai pembebasan. Yakni membebaskan diri dari segala kekuatan tirani yang membelenggu kebebasan kita. Pada usianya yang muda ia sudah mengguncang wacana pemikiran Islam di tanah air. Berangkatdari dunia pesantrenyangtradisional ia justru menyadarkan masyarakat Indonesia modern akan pentingnya keberanian menyuarakan moralitas politik. Dan, belakangan ia menganggap berpolitik tidak mungkin tanpa keberanian, kejujuran dan keikhlasan untuk selalu menerima kritikan dari mana pun.
Cak Nur dilahirkan di Mojoanyar-Jombang pada 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H. Ia dibesarkan dari latar keluarga pesantren. Ayahnya bernama Abdul Madjid, seorang kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang. Ayahnya murid pendiri NU yang kharismatik itu. Lebih dari itu, ayahnya dinikahkan dengan Halimah, seorang wanita keponakan gurunya.
Sketsa singkat latar belakang Cak Nur cukuplah untuk menunjukkan bahwa ia lahir dari subkultur pesantren. Cak Nur mengakui bahwa ia pertama kali beragama lewat ayah dan ibunya sendiri. Kebetulan mereka berdua memang mendirikan Madrasah sendiri pada tahun 1948 dan Cak Nur adalah salah seorang muridnya. Selain itu, ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (SR) di kampungnya.
Selanjutnya, setamat SR 1952 ia di masukkan ayahnya ke pesantren Darul Ulum, Rejoso Jombang. Namun, di Darul Ulum Cak Nur hanya bertahan selama dua tahun dan sempat menyelesaikan tingkat Ibtidaiyah, lalu melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah. Ada dua alasan, yang menurut Cak Nur, mengapa ia hanya bertahan dua tahun nyatri di sana. Pertama, karena kesehatan dan Kedua, karena ideologi atau politik.
Namun, tampaknya alasan politiklah yang agaknya cukup menarik melihat sikap Cak Nur tersebut. Seperti kita tahu, pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan sejak itu NU barubah peran dari jam'iyah keagamaan menjadi partai politik. Ayah Cak Nur secara bersamaan aktif di organisasi tradisional Islam NU berpisah secara politis dengan Masyumi tahun 1952, ayahnya tetap memilih Masyumi dan mengirim anaknya dari pesantren tradisional ke sekolah modern yang masyhur Gontor. Saat itu, ayah Cak Nur yang kebetulan aktivis berat Masyumi merasa ‘kecewa' kepada NU ketika organisasi itu keluar dari Masyumi dan membentuk partai politiknya sendiri. Karena ulah sang ayah inilah, Cak Nur sering diledek teman-temannya yang NU sebagai "anak Masyumi kesasar".
Cak Nur mengakui bahwa di gontor ia selalu meraih prestasi yang cukup baik. Dan kecerdasan Cak Nur ini rupanya ditangkap pula oleh Pimpinan Pesantren KH. Zarkasyi. Sehingga pada 1960, ketika Cak Nur menamatkan belajarnya, sang guru bermaksud mengirim Cak Nur ke Universitas Al-Azhar, Kairo. Tetapi karena Kairo pada wakti itu sedang terjadi krisis Terusan Suez yang cukup kontroversial itu, keberangkatan Cak Nur sampai tertunda. Sambil menunggu keberangkatannya ke Mesir itulah, Cak Nur memanfaatkan untuk mengajar di Gontor selama satu tahun. Namun, waktu yang ditunggu-tunggu Cak Nur untuk berangkat ke Mesir ternyata tak kunjung tiba.
Pernah terbetik berita bahwa kala itu di Mesir memperoleh visa, sehingga tidak memungkinkan Cak Nur pergi ke Mesir. Cak Nur sendiri, memang sempat kecewa. Tapi, pak Zarkasyi bisa ‘menghibur'nya dan rupanya tak kehilangan akal. Lalu ia mengirim surat ke IAIN Jakarta dan meminta agar murid kesayangannya bisa diterima di lembaga pendidikan tinggi Islam bergengsi itu. Maka berangkat dari salah satu alumni santri Gontor yang ada di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cak Nur kemudian diterima sebagai mahasiswa di sana, meskipun tanpa menyandang izajah negeri.

2.1.2 Abdurrahman Wahid
Sebagai cucu pendiri NU, Abdurrahman wahid (Gus Dur) memiliki legitemasi yang sangat kuat dari kalangan Nahdhiyin. Sosok pemikirannya sulit diterka dan dijangkau oleh manusia biasa. Dalam perjalanan kiprahnya, Gus Dur lebih dekat pada kaum termarginal dan kultural. Ia lebih terhibur dengan kelompok yang selama ini terpinggirkan oleh deru mesin pemerintahan. Gagasan yang sempat mencuat pada tahun 70-an Gus Dur adalah seorang penganut Humanisme.
Gagasan-gagasan yang digelindingkan adalah seputar wacana Kiri Islam. Meskipun berangkat dari alam tradisonal, ia memiliki informasi yang cukup luas. Dibandingkan dengan tokoh yang lain, Gus Dur mempunyai karakter yang agak controversial dan nyeleneh di pentas politik Indonesia.
Gus Dur dilahirkan di Denanyar-Jombang 12 Agustus 1940, putra pasangan K.H. Wahid Hasyim. Meskipun sebagai putra Mentri Agama (1950), ia tidak merasa termanjakan dengan jabatan ayahnya. Justru, ia memilih tinggal bersama kakeknya (Bisri Syamsuri) di Jombang.
Gus Dur mempunyai kegemaran malahap buku-buku, dari buku yang bernafas agama sampai buku filsafat. Di samping itu, hobi yang sangat disenangi diantaranya adalah seni, olah raga dan musik. Tak heran kalau Gus Dur sering melespakan job-job segar yang membuat orang tertawa.
Pendidikan yang pernah dikenyak Gus Dur mulai dari pesantren (Denanyar dan Tegalrejo), SMEP Yogyakarta, sampai ke Al -Azhar Mesir. Di mesir, Gus Dur mengambil spesialisasi bidang Syari'ah. Namun setelah tujuh tahun belajar, ternyataia merasa tak betah belajar di Mesir. Sebab menurutnya materi yang diajarkan di sana tak ubahnya ibarat pesantren. Di sana, ia lebih menyempatkan diri untuk membawa buku diperpustakaan di Kairo. Sedang waktu selebihnya, dimanfaatkan untuk nonton film yang bagus. Meski demikian, bagi Gus Dur belajar di Mesir bukan tanpa kesan. Menurut pengakuannya, di Mesir itulah ia banyak memperoleh paham "sosialisme yang berbudaya". Orang-orang Arab, menurut Gus Dur, sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya. Hal itu dilakukan karena mereka tak punya tempat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama.
Merasa tak betah belajar di Mesir, Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas Bagdad, Fakultas Sastra. Di Universitas tersebut, Gus Dur merasakan kepuasan dan dapat mengoleksi referensi buku yang lebih lengkap.
Dari literatur itulah, Gus Dur kemudian mengapresiasikan ide-ide yang bercorak sosialisme dan marxisme. Sewaktu ia mengaku sudah membaca karya cukup radikal seperti Pemberontakan Petani. Berangkat dari pemehaman inilah Gus Dur berkeyakinan bahwa sosialisme lebih bertolak pada visi budaya daripada ideologis. Tak heran, karena apresiasi yang kritis terhadap pemikiran-pemikiran sosilisme radikal, ia berpandangan itu merupakan perangkat analisis yang penting guna memahami keadaan.

2.2. PEMIKIRAN
2.2.1. Nurcholis Madjd
Secara disipliner, Cak Nur lebih menitik beratkan pada kajian filsafat Islam dan sosiologi modern (Barat), disamping giat mengakses kembali tradisi klasik Islam. Gagasan Cak Nur dalam pemikiran Islam menginginkan adanya persambungan Islam dengan kemoderenan. Umat Islam harus apresiatif terhadap kemoderenan.
Sementara itu, ia menganjurkan umat Islam agar memiliki respons terhadap Barat. Dengan melihat kenyataan sebenarnya seperti; Etos kerja, hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peradabannya sekaligus. Bertolak dari idenya itu, ia menganjurkan supaya umat Islam dapat mengawinkan metodologi studi Islam klasik dengan studi Islam modern.
Gagasan ini mulai mantap ketika ia pulang dari Chicago dan memperoleh doktor dibidang filsafat Islam. Gagasan itu juga ditunjang berdasarkan sejumlah studi Islam klasik, sehingga kemoderenan diberi makna baru, dalam pengertian bahwa kemoderenan bukan lagi lawan tradisionalisme yang, dalam batang tubuh umat Islam, selalu dinisbatkan kepada pesantren. Kemoderenan menurut Cak Nur dipahami sebagai persambungan antara visi lama dengan visi baru.

2.2.2. Abdurrahman Wahid
Semenjak pulang dari Mesir, Gus Dur langsung terjun ke dunia pesantren, karena gagasan-gagasan awalnya ia berasal dari pesantren. Usaha memodernisasikan pesantren melalui berbagai kerjasama baik dengan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat merupakan garapan utama dan pertama Gus Dur. Di samping itu, ia mempunyai komitmen terhadap gagasan pengembangan masyarakat.

Tranformasi sosio-kultural bagi kalangan masyarakat bawah adalah obsesi yang demikain kental mewarnai berbagai pemikiran Gus Dur. Usahanya dalam membentuk BPR NU bekerjasama dengan Nusuma dan keterlibatannya diberbagai forum LSM, dalam dan luar negeri.
Sementara itu, Gus Dur dalam memandang realitas selalu mengaitkan dengan fiqh. Karenanya ia menampung segala persoalan dipecahkan melalui jalan kefiqhian bukan teologis. Salah satu keperpihakan Gus Dur adalah ia dekat dengan kaum pinggiran yang secara budaya adalah masyarakat tradisonal.



No comments:

Post a Comment