Makalah Fiqih
KHUF,HAID,NIFAS,ISTIKHADLOH,TAYAMUM,SHALAT
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah “ILMU FIQIH”
Disusun Oleh:
1. Titin Sri Rejeki
2. Elis Listiani
3. Al MarufSetya Putra
4. Reza maulana
Semester 3
Tarbiyah B
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN TSAURI (STAIS)
Jl. KH.
Sufyan Tsauri Telp. 0280 622318 Majenang 53257
Tahun
Akademik 2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “KHUF, HAID, NIFAS, ISTIKHADLOH, TAYAMUM, dan SHALAT”.
Penulis
menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyusun makalah ini sampai selesai.
Kritik
dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk
penyusunan makalah yang selanjutnya agar jauh lebih baik dari sebelumnya.
Akhir
kata kami ucapkan terimakasih dan semoga makalah ini bemanfaat bagi kami
khususnya bagi para pembaca.
Majenang,
28 Oktober 2015
Penulis
Daftar
Isi
Kata Pengantar ............................................................................................
i
Daftar Isi ...................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ................................................................................
1
B.
Rumusan
Masalah ...........................................................................
1
C.
Tujuan
Pembahasan ............................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Mengusap Khuf .............................................................................. 2
B.
Haid,Nifas,Istikhadloh .......................................................................... 8
C.
Tayamum .............................................................................................. 15
D.
Shalat ................................................................................................... 17
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ...................................................................................
11
Daftar Pustaka ...........................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di tengah kehidupan bangsa yang semakin komplek ini, dunia pendidikan
dituntun harus mampu menyajikan kurikulum yang makin beragam. Akibatnya masalah
fighiyah mendapat porsi yang kian terbatas dengan bahasan yang cenderung
global. Begitu pula realita yang dialami oleh pelajaran Risalatul Mahidl yang
merupakan sub bahasan dari bidang fiqih.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud khuf?
2.
Bagaimana hukum mengusap
khuf?
3.
Bagaimana cara mengusap
khuf?
4.
Apa yang dimaksud
haid,nifas,dan Istihadloh?
5.
Apa yang dimaksud tayamum?
6.
Bagaimana tata cara
tayamum?
7.
Apa pengertian shalat?
8.
Bagaimana tata cara shalat?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui tentang
makna khuf, hukum,dan cara mengusap khuf
2.
Untuk mengetahui tentang
haid, nifas, dan istikhadloh
3.
Untuk mengetahui makna
tayamum dan tata caranya
4.
Untuk mengetahui makna
shalat dan tata caranya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mengusap Khuf
Khuf adalah alas kaki dari kulit yang
menutupi mata kaki.Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mash”
yaitu tangan yang dalam keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu. Jadi yang
dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian
yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki
saat berwudhu.
1.
Dalil Pensyariatan Khuf
Tentang dalil pensyariatan mengusap
khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin
Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,
“Seandainya agama itu dengan
logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada
bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”
Ada juga riwayat dari
Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau
kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan
padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jarir. Saya
pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian
beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui
bahwa Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah
berikut,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah
menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya
surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah
dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jarir ternyata belakangan
setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits
mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki
(bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang
mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus
bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.
2.
Hukum
Mengusap Khuf
Hukum asal mengusap khuf
adalah boleh. Menurut mayoritas ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih
utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam
ajaran Islam. Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang
mengambil rukhsoh (keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya.
Namun menurut ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti
seseorang mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan
mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan.
3. Syarat
Bolehnya Mengusap Khuf
Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf
adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi) terlebih
dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada
suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau
membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan
sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,
دَعْهُمَا
، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
“Biarkan keduanya (tetap
kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.”
Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja.
Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna
adalah syarat yang disepakati oleh para ulama.
Adapun
syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi
kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh dan kuat digunakan untuk
berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah
dalam fatwanya akan lemahnya pendapat tersebut.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan
diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang didapati pada khuf seperti adanya
belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para
sahabat di masa dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin
mereka terus menggunakan khuf baru.” Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya
mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf
dan selama masih kuat untuk digunakan berjalan.
4. Bagian
Mana yang Diusap?
Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf,
atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang
diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap adalah bagian
punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf
diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ)
yang sudah disebutkan di awal.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ
كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ
أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى
ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
“Seandainya agama itu
dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap
daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”
5. Jangka
Waktu Bolehnya Mengusap Khuf
Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada
masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu
mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama
tiga hari tiga malam (3×24 jam).
Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,
فَأَمَرَنَا
أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ
ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ
نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ
مِنْ جَنَابَةٍ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami
kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah
tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan
kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil
(kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.”
Dari Syuraih bin Haani’, ia
berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara
mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi
Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,
جَعَلَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ
لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap
khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.”
Hitungannya adalah dimulai
dari mengusap pertama kali setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al
Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini
menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah
ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari
hadits. Wallahu a’lam.
Contoh: Ahmad berwudhu
sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal
karena hadats kecil (kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan
melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi
Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap
khuf bagi Ahmad usai.
6. Cara
Mengusap Khuf
Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf,
kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai
ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi orang
mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun ketika seseorang
terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas sepatunya saat
bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas.
7. Pembatal
Mengusap Khuf
a. Berakhirnya
waktu mengusap khuf.
b. Terkena
junub.
c. Melepas
sepatu.
Jika khuf dilepas dan masa
mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan
mengenakan khuf dan mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan
kakinya dalam keadaan tidak suci.
Jika
salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib
baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara
langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan
mengusapnya.
8. Hikmah
Mengusap Khuf
Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan
dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah
kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin
atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut
bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga
sulit untuk mencuci kaki secara langsung.
B. Haid,Nifas,dan Istihadhah
Kaum wanita wajib belajar tentang
hokum-hukum haid,nifas,dan istihadhah yang dibutuhkan. Jika sudah punya suami,
dan suaminya mengerti hukum-hukum tersebut, maka suaminya wajib mengajarinya.[1]
1. Haid
Haidh
atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim
seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh
suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah itu
merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita.
Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu
tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.
Haid
adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita
kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan
rasa sakit pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang
lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika keluar
didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah
merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh
setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah
akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang
keluar kemudian.
Wanita
yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan
berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan membaca
Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau
dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll),
berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada
kemaluannya.
Allah
Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ
هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah,
“Dia itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian
menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian
mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci
(mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepada kalian.” (QS.
Al-Baqarah: 222)
Dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)
a. Batasan Haid :
1)
Menurut
Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan batas
maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah
Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat.
2)
Imam
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa
tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan
pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati oleh
sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan
maksimal masa haid :
Firman
Allah Ta’ala.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”.
Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan
janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]
Ayat ini
menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir
setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan
tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau
patokannya adalah keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan
sifatnya dalah darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika tidak dijumpai
darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid
padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa
sekiranya memang ada batasan hari tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash
syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang hal ini.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyahrahimahullahmengatakan :“Pada prinsipnya, setiap
darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang
menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
b. Berhentinya haid :
Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan
atau lendir putih (seperti keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila
tidak menjumpai adanya lendir putih ini, maka bisa dengan mengeceknya
menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak
terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib mandi dan
shalat.
Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi
Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan
kuning, dan kemudian Aisyah mengatakan :
لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ
القَصَّةَ البَيْضَاءَ
“Janganlah
kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini terdapat dalam Shahih
Bukhari).
2. Nifas
Nifas
adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan.
Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah
pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan,
baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah
persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada
dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar
dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas,
sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Tidak ada batas minimal masa nifas,
jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang
wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa
yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para
ulama berbeda pendapat tentangnya.
(1) Ulama Syafi’iyyah mayoritas
berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari sesuai dengan kebiasaan
wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60 hari.
(2) Mayoritas Sahabat seperti Umar bin
Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu
‘anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad,
At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal
keluarnya darah nifas adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia
berkata, “Para wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu
alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40
hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan
Ibnu Majah no. 648). Hadits ini diperselisihkan derajat kehasanannya.
Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan Shahih.
Wallahu a’lam.
(3) Ada beberapa ulama yang berpendapat
bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60
hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak
didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.
Wanita
yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid,
yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan
intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan
membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas
atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll),
berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada
kemaluannya.
Tidak
banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid.
Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah
nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya
tidak terlalu hitam, kekentalan hampir sama dengan darah haid, namun baunya
lebih kuat daripada darah haid.
3. Istihadhah
Istihadhah
adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan
bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit,
sehingga sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah
dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari
kemaluan wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.
Sifat
darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya,
encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya
akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.
Wanita
yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia
tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.
Imam
Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
‘anha :
جَاءَتَ فاَطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَلَتْ ياَرَسُوْلُ اللهِ اِنِّى امْرَاَةٌ
اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَاَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ ياَرَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، اِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ
بِالْحَيْضَةِ فَاِذَااَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا
ذَهَبَ قَدْرُهَا فاَغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
Fatimah
binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang
mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan
shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya itu
(berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang,
maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka
cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”
a. Pembagian orang istikhadloh
(Mustahadloh):
1)
Mubtada’ah Mumayyizah,
yaitu orang istikhadloh atau mengeluarkan darah melebihi 15 hari yang
sebelumnya belum pernah haid,serta mengerti bahwa darahnya dua macam (darah
kuat dan darah lemah) atau melebihi dua macam.[2]
2)
Mubtada’ah GhoiruMumayyizah,
yaitu orang istikhadloh yang belum pernah haid serta darahnya hanya satu macam.[3]
3)
Mubtada’ahMumayyizah,
yaitu orang istikhadloh yang pernah haid dan suci serta mengerti bahwa dirinya mengeluarkan
darah dua macam atau lebih.
4)
Mubtada’ah
Ghoiru MumayyizahDzakirotun Li’adatiha Qodron Wa Waqtan, yaitu Wanita yang
sudah pernah haid dan sudah pernah suci yang tidak Mumayyiz, dan ingat adat/kebiasaannya
baik kira-kira (lama)nya dan waktu (mulai) nya.
5)
Mubtada’ah
Ghoiru Nasiyatun Li’adatiha Qodron Wa Waqtan, yaitu orang istikhadloh yang
pernah haid dan suci, darahnya satu macam dan tidak mengerti akan waktu adat
haidnya yang pernah ia jalankan, wanita yang demikian ini juga disebut
Mutahayyiroh.
6)
Mubtada’ah
Ghoiru Mumayyizah Dzakirotun Li’adatiha Qodron La Wawaqtan, yaitu orang
istikhadloh yang pernah haid dan suci, darahnya hanya satu macam dan ia hanya
ingat pada banyak sedikitnya haid yang menjadi adatnya tadi, namun tidak ingat
waktunya.
7)
Mubtada’ah
Ghoiru Mumayyizah Dzakirotun Li’adatiha Waqtan La Qodron,yaitu orang
istikhadloh yang pernah haid dan suci, darahnya hanya satu macam atau tidak
bisa membedakan darah, dan ia ingat akan waktu haid adatnya, tapi tidak ingat
pada banyak sedikitnya.
b.
Shalat bagi
orang Istikhadloh
Orang yang istikhadloh tetap wajib
melaksanakan shalat. Karena hadast dan najisnya maka jika akan melaksanakan
sholat harus melakukan 4 perkara terlebih dahulu, yaitu:
1)
Mambasuh farji
2)
Menyumbat farji
dengan kapas/sejenisnya, supaya darah tidak menetes
3)
Membalut farji
dengan celana dalam atau sejenisnya
4)
Bersuci dengan
wudlu atau tayamum
C.
Tayamum
Tayamum secara Bahasa berarti
menyengaja. Dan secara istilah syara’ adalah mengusap muka dan tangan dengan
debu yang suci dengan cara yang khusus sebagai pengganti wudlu maupun mandi
besar.[4]
1.
Sebab-sebab
tayamum
a.
Tidak
mendapatkan air
b.
Sakit dan takut
jika sakitnya bertambah parah jika terkena air
c.
Terbatasnya air
2.
Syarat-syarat
tayamum
a.
Mencari air
sebelum menjalankan tayamum
b.
Menyengaja
memakai debu yang suci, yang sangat lembut dan tidak bercampur kerikil
c.
Tayamum
dilakukan setelah masuk waktu shalat
d.
Tayamum hanya
berlaku untuk satu shalat fardhu
3.
Rukun tayamum
a.
Niat
b.
Mengusap muka
dan dua tangan sampai siku
c.
Berurutan
4.
Sunah-sunah
tayamum
a.
Membaca
basmalah
b.
Mendahulukan
yang kanan
c.
Antara rukun
yang satu dengan yang lain tak ada jeda waktu yang panjang
5.
Hal-hal yang
membatalkan tayamum
a.
Apa saja yang
membatalkan wudlu
b.
Melihat air
sebelum melaksanakan shalat
c.
Murtad
6. Tata cara tayamum yang shahih dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
a. Menetup telapak tangan ke sho’id
sekali tepukan.
b. Meniup kedua tangan tersebut.
c. Mengusap wajah sekali.
d. Mengusap punggung telapak tangan
sekali.
Dalil pendukung dari tata cara di atas dapat dilihat dalam
hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini.
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ
الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ
أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ ،
وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله
عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ
يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ
الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin
Al Khottob, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin
Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khottob mengenai kejadian ia dahulu, “Aku
dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun
aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun
menyebutkan tindakanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas
beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tytangannya ke
tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tersebut, kemudian beliau mengusap wajah
dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ
ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ
وَوَجْهَهُ
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan,
kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan kanan, lalu beliau usap punggung
kedua telapak tangannya, dan mengusap wajahnya.”
D.
Shalat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology
(istilah), para ahli Fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki.
Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah
kepada Allah menurut syarat-syarat yang telahditentukan’(Sidi Gazalba,88).
Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada
Allah,secara yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan
keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan’
(Hasbi Asy-syidiqi,59)
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi
antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan
amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang
telah ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi,30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat
adalah Suatu ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang
telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah
dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.
1.
Dalil perintah shalat
Dalil yang
mewajibkan shalat banyak sekali, baik dalam Al Qur’an maupun dalam Hadits nabi
Muhammad SAW.
Dalil Ayat-ayat Al Qur’an yang mewajibkan shalat antara lain berbunyi;
Dalil Ayat-ayat Al Qur’an yang mewajibkan shalat antara lain berbunyi;
a.
“Dan
dirikanlah Shalat, dan keluarkanlah Zakat, dan ruku’lah bersama-sama orang yang
ruku" (QS.Al
Baqarah;43)
b.
Kerjakanlah
shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan yang jahat dan mungkar” (QS. Al-Ankabut;45)
c.
Perintah shalat
ini hendaklah ditanamkan dalam hati dan jiwa kita umat muslim dan anak-anak
dengan cara pendidikan yang lcermat, dan dilakukan sejak kecil sebagaimana
tersebut dalam hadis nabi Muhammad SAW :Perintahkanlah anak-anakmu
mengerjakan shalat diwaktu usia mereka meningkat tujuh tahun, dan pukulah
(kalau mereka enggan melasanakan shalat) diwaktu usia mereka meningkat sepuluh
tahun (HR.. Abu Dawud)
2.
Syarat-Syarat
Shalat
a.
Beragama islam
b.
Sudah baligh
dan berakal
c.
Suci dari
hadats
d.
Suci seluruh
anggota badan pakaian dan tempat
e.
Menutup aurat
f.
Masuk waktu
yang telah ditentukan
g.
Menghadap
kiblat
h.
Mengetahui mana
rukun wajib dan sunah.
3.
Rukun Shalat
a.
Niat
b.
Takbiratul
ihram
c.
Berdiri tegak
,bagi yang kuasa ketika shalat fardhu. Boleh duduk,atau berbareng bagi yang
sedang sakit.
d.
Membaca surat
Al-Fatihah pada tiap-tiap raka’at
e.
Ruku’ dengan
tumakninah
f.
I’tidal dengan
tumakninah
g.
Sujud dua kali
dengan tumakninah
h.
Duduk antara
dua sujud dengan tumakninah
i.
Duduk tasyahud
akkhir dengan tumakninah
j.
Membaca
tasyahud akhir
k.
Membaca
shalawat nabi pada tasyahud akhir
l.
Membaca salam
yang pertama
m.
Tertib;
(Berurutan sesuai rukun-rukunnya)
4.
Yang
Membatalkan Shalat
a.
Berhadats
b.
Terkena Najis
yang tidak dimaafkan.
c.
Berkata-kata
dengan sengaja di;luar bacaan shalat.
d.
Terbuka
auratnya
e.
Mengubah niat,
misal ingin memutuskan shalat (niat berhenti shalat)
f.
Makan atau
/minum.walau sedikit,
g.
Bergerak tiga
kali berturut-turut, diluar gerakan shalat.
h.
Membelakangi
kiblat
i.
Menambah rukun
yang berupa perbuatan, seperti menambah ruku’sujud atau lainnya dengan sengaja.
j.
Tertawa
terbahak-bahak
k.
Mendahului Imam
dua rukun.
l.
Murtad, keluar
dari Islam.
5.
Sunah dalam
Melakukan Shalat
a.
Sunah
Ab’adh
1)
Membaca
tasyahud awal
2)
Memnbaca
shalawat pada tasyahud awal,
3)
Membaca
shalawat atas keluarga Nabi SAW pada tasyahud akhir.
4)
Memnbaca Qunut
pada shalat Subuh dan shalat witir.
b.
Sunah
Hai’at
1)
Mengangkat
kedua belah tangan ketika takbiratul ikhram,ketika akan ruku’ dan ketika
berdiri dari ruku’.
2)
Meletakan
telapak tangan yang kanan diatas pergelangan tangan kiri ketika sedekap,
3)
Membaca do’a
Iftitah sehabis takbiratul ikhram.
4)
Membaca
Ta’awwudz ketika hendak membaca fatihah,
5)
Membaca Amiin
ketika sesudah membaca Fatihah,
6)
Membaca surat
Al-Qor’an pada dua raka’t permulaan sehabis membaca Fatihah,
7)
Mengeraskan
bacaan Fatihah dan surat pada raka’at pertama dan kedua, pada shalat magrib,
isya’ dan subuh selain makmum.
8)
Membaca Takbir
ketika gerakan naik turun,
9)
Membaca tasbih
ketika ruku’ dan sujud.
10)
Membaca
“sami’allaahu liman hamidah” ketika bangkit dari ruku’ dan membaca “Rabbanaa
lakal Hamdu” ketika I’tidal,
11)
Meletakan kedua
telapak tangan diatas paha ketika duduk tasyahud awal dan tasyahud akhir,dengan
membentangkan yang kiri dan mengenggamkan yang kanan, kecuali jari telumjuk.
12)
Duduk Iftirasy
dalam semua duduk shalat,
13)
Duduk Tawarruk
pada duduk tasyahud akhir
14)
Membaca salam
yang kedua.
15)
Memalingkan
muka ke kanan dan kekiri ketika membaca salam pertama dan kedua
6.
Makruh Shalat
a.
Menaruh telapak
tangan di dalam lengan bajunya ketika Takbiratul ikhram, ruku’ dan jsujud.
b.
Menutup
mulutnya rapat rapat.
c.
Terbuka
kepalanya,
d.
Bertolak
pinggang,
e.
Memalingkan
muka ke kiri dan ke kanan.
f.
Memejamkan
mata,
g.
Menengadah ke
langit,
h.
Menahan hadats
i.
Berludah
j.
Mengerjakan
shalat di atas kuburan,
k.
Melakukan
hal-hal yang mengurangi kekhusukan shalat.
7.
Perbedaan
laki-laki dan perempuan dalam shalat
Laki-laki
|
Perempuan
|
||
1.
|
Merenggangkan
kedua siku tangannya dari kedua lambungnya waktu ruku’ dan sujud.
|
1.
|
Merapatkan
satu anggota kepada anggota lainnya.
|
2.
|
Waktu
ruku’ dan sujud mengangkat perutnya dari pahanya.
|
2.
|
Meletakan
perutnya pada dua tangan/ sikunya ketika sujud.
|
3.
|
Menyaringkan
suaranya /bacaanya dikeraskan di tempatr keras.
|
3.
|
Merendahkan suaranya/ bacaanya dihadapan
laki-laki lain yang bukan muhrimnya.
|
4.
|
Bila
memberi tahu sesuatu dengan membaca Tasbih, yakni ‘Subhaanallah’
|
4.
|
Bila
memberitahu sesuatu dengan bertepuk tangan,yakni tangan kanan ditepukkan ke
punggung telapak tangan kiri.
|
5.
|
Auratnya
barang antara Pusar dan lutut.
|
5.
|
Auratnya
seluruh anggouta tubuh kecuali bagian muka dan kedua telapak tangan
|
8.Tata
cara sholat
1.) Berdiri
menghadap kiblat dan berniat di dalam hati
2.)
Takbiratul ihram dan takbir dan mengangkat kedua tangan sejajar telinga dengan
merapatkan jari-jari dan mengarahkan telapak tangan kea rah kiblat.
3.)
Bersedekap lalu membaca doa iftitah.
artinya:
“Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku
sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah, bersihkanlah
aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran.
Ya, Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.”
(HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah).
artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari
semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya
(yang menyebabkan kerusakan akhlaq).”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
5.) Membaca surat setelah membaca surat al-fatihah
6.) Rukuk dengan meluruskan belakang kepala dengan punggung,
dan harus lurus, telapak tangan menempel lutut dan membaca:
Artinya:
“Maha Suci Rabbku lagi Maha Agung dan segenap pujian
bagi-Nya.”
Kemudian bangkit dan sambal membaca:
Ya, Allah, Rabbku dan segala puji kepada-Mu
Artinya
:“Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi”
Artinya: “Wahai Rabbku ampunilah aku,
rakhmatilah aku, angkatlah aku, berilah aku rezeki, dan berilah aku
petunjuk”(HR. Ahmad dan Ibnu majjah)
9.) Tasyahud Awal dan Akhir
Artinya: segala
kehormaatan, shalawat dann kebaikan kepunyaan Allah, semoga keselamatan
terlimpah atasmu wahai Nabi dan juga rahmat Allah dan barakah-Nya. Kiranya
keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih; -karena
sesungguhnya apabila kalian mengucapkan sudah mengenai semua hamba Allah yang
shalih di langit dan di bumi- Aku bersaksi bersaksi bahwa tidak ada ilah yang
haq selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammmad itu hamba daan
utusan-Nya. (Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Al Bukhari).
Artinya: “Ya Allah berikanlah Shalawat kepada Muhammad dan
keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada keluarga
Ibarahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah berkahilah
Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga
Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seperti
disebutkan dalam defenisi di atas, tujuan pembuatan makalah fiqih tentang KHUF,
NIFAS, HAID, ISTIKHADLOH, TAYAMUM, dan SHALAT adalah untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya. Tujuan ini berupa suatu hasil, ataupun output
tentang kesimpulan makalah tersebut.
[1]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh,
(Surabaya: Al-Miftah). Hal. 12
[2]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh,
(Surabaya: Al-Miftah). Hal. 52
[3]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh,
(Surabaya: Al-Miftah). Hal. 62
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di tengah kehidupan bangsa yang semakin komplek ini, dunia pendidikan
dituntun harus mampu menyajikan kurikulum yang makin beragam. Akibatnya masalah
fighiyah mendapat porsi yang kian terbatas dengan bahasan yang cenderung
global. Begitu pula realita yang dialami oleh pelajaran Risalatul Mahidl yang
merupakan sub bahasan dari bidang fiqih.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud khuf?
2.
Bagaimana hukum mengusap
khuf?
3.
Bagaimana cara mengusap
khuf?
4.
Apa yang dimaksud
haid,nifas,dan Istihadloh?
5.
Apa yang dimaksud tayamum?
6.
Bagaimana tata cara
tayamum?
7.
Apa pengertian shalat?
8.
Bagaimana tata cara shalat?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui tentang
makna khuf, hukum,dan cara mengusap khuf
2.
Untuk mengetahui tentang
haid, nifas, dan istikhadloh
3.
Untuk mengetahui makna
tayamum dan tata caranya
4.
Untuk mengetahui makna
shalat dan tata caranya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mengusap Khuf
Khuf adalah alas kaki dari kulit yang
menutupi mata kaki.Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mash”
yaitu tangan yang dalam keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu. Jadi yang
dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian
yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki
saat berwudhu.
1.
Dalil Pensyariatan Khuf
Tentang dalil pensyariatan mengusap
khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin
Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,
“Seandainya agama itu dengan
logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada
bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”
Ada juga riwayat dari
Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau
kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan
padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jarir. Saya
pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian
beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui
bahwa Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah
berikut,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah
menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya
surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah
dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jarir ternyata belakangan
setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits
mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki
(bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang
mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus
bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.
2.
Hukum
Mengusap Khuf
Hukum asal mengusap khuf
adalah boleh. Menurut mayoritas ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih
utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam
ajaran Islam. Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang
mengambil rukhsoh (keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya.
Namun menurut ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti
seseorang mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan
mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan.
3. Syarat
Bolehnya Mengusap Khuf
Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf
adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi) terlebih
dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada
suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau
membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan
sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,
دَعْهُمَا
، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
“Biarkan keduanya (tetap
kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.”
Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja.
Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna
adalah syarat yang disepakati oleh para ulama.
Adapun
syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi
kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh dan kuat digunakan untuk
berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah
dalam fatwanya akan lemahnya pendapat tersebut.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan
diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang didapati pada khuf seperti adanya
belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para
sahabat di masa dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin
mereka terus menggunakan khuf baru.” Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya
mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf
dan selama masih kuat untuk digunakan berjalan.
4. Bagian
Mana yang Diusap?
Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf,
atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang
diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap adalah bagian
punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf
diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ)
yang sudah disebutkan di awal.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ
كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ
أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى
ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
“Seandainya agama itu
dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap
daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”
5. Jangka
Waktu Bolehnya Mengusap Khuf
Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada
masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu
mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama
tiga hari tiga malam (3×24 jam).
Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,
فَأَمَرَنَا
أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ
ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ
نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ
مِنْ جَنَابَةٍ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami
kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah
tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan
kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil
(kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.”
Dari Syuraih bin Haani’, ia
berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara
mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi
Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,
جَعَلَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ
لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap
khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.”
Hitungannya adalah dimulai
dari mengusap pertama kali setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al
Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini
menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah
ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari
hadits. Wallahu a’lam.
Contoh: Ahmad berwudhu
sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal
karena hadats kecil (kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan
melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi
Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap
khuf bagi Ahmad usai.
6. Cara
Mengusap Khuf
Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf,
kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai
ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi orang
mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun ketika seseorang
terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas sepatunya saat
bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas.
7. Pembatal
Mengusap Khuf
a. Berakhirnya
waktu mengusap khuf.
b. Terkena
junub.
c. Melepas
sepatu.
Jika khuf dilepas dan masa
mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan
mengenakan khuf dan mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan
kakinya dalam keadaan tidak suci.
Jika
salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib
baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara
langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan
mengusapnya.
8. Hikmah
Mengusap Khuf
Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan
dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah
kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin
atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut
bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga
sulit untuk mencuci kaki secara langsung.
B. Haid,Nifas,dan Istihadhah
Kaum wanita wajib belajar tentang
hokum-hukum haid,nifas,dan istihadhah yang dibutuhkan. Jika sudah punya suami,
dan suaminya mengerti hukum-hukum tersebut, maka suaminya wajib mengajarinya.[1]
1. Haid
Haidh
atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim
seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh
suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah itu
merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita.
Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu
tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.
Haid
adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita
kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan
rasa sakit pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang
lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika keluar
didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah
merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh
setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah
akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang
keluar kemudian.
Wanita
yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan
berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan membaca
Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau
dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll),
berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada
kemaluannya.
Allah
Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ
هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah,
“Dia itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian
menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian
mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci
(mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepada kalian.” (QS.
Al-Baqarah: 222)
Dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)
a. Batasan Haid :
1)
Menurut
Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan batas
maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah
Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat.
2)
Imam
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa
tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan
pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati oleh
sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan
maksimal masa haid :
Firman
Allah Ta’ala.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”.
Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan
janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]
Ayat ini
menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir
setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan
tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau
patokannya adalah keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan
sifatnya dalah darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika tidak dijumpai
darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid
padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa
sekiranya memang ada batasan hari tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash
syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang hal ini.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyahrahimahullahmengatakan :“Pada prinsipnya, setiap
darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang
menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
b. Berhentinya haid :
Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan
atau lendir putih (seperti keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila
tidak menjumpai adanya lendir putih ini, maka bisa dengan mengeceknya
menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak
terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib mandi dan
shalat.
Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi
Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan
kuning, dan kemudian Aisyah mengatakan :
لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ
القَصَّةَ البَيْضَاءَ
“Janganlah
kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini terdapat dalam Shahih
Bukhari).
2. Nifas
Nifas
adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan.
Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah
pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan,
baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah
persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada
dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar
dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas,
sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Tidak ada batas minimal masa nifas,
jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang
wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa
yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para
ulama berbeda pendapat tentangnya.
(1) Ulama Syafi’iyyah mayoritas
berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari sesuai dengan kebiasaan
wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60 hari.
(2) Mayoritas Sahabat seperti Umar bin
Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu
‘anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad,
At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal
keluarnya darah nifas adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia
berkata, “Para wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu
alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40
hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan
Ibnu Majah no. 648). Hadits ini diperselisihkan derajat kehasanannya.
Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan Shahih.
Wallahu a’lam.
(3) Ada beberapa ulama yang berpendapat
bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60
hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak
didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.
Wanita
yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid,
yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan
intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan
membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas
atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll),
berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada
kemaluannya.
Tidak
banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid.
Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah
nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya
tidak terlalu hitam, kekentalan hampir sama dengan darah haid, namun baunya
lebih kuat daripada darah haid.
3. Istihadhah
Istihadhah
adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan
bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit,
sehingga sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah
dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari
kemaluan wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.
Sifat
darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya,
encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya
akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.
Wanita
yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia
tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.
Imam
Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
‘anha :
جَاءَتَ فاَطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَلَتْ ياَرَسُوْلُ اللهِ اِنِّى امْرَاَةٌ
اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَاَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ ياَرَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، اِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ
بِالْحَيْضَةِ فَاِذَااَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا
ذَهَبَ قَدْرُهَا فاَغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
Fatimah
binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang
mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan
shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya itu
(berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang,
maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka
cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”
a. Pembagian orang istikhadloh
(Mustahadloh):
1)
Mubtada’ah Mumayyizah,
yaitu orang istikhadloh atau mengeluarkan darah melebihi 15 hari yang
sebelumnya belum pernah haid,serta mengerti bahwa darahnya dua macam (darah
kuat dan darah lemah) atau melebihi dua macam.[2]
2)
Mubtada’ah GhoiruMumayyizah,
yaitu orang istikhadloh yang belum pernah haid serta darahnya hanya satu macam.[3]
3)
Mubtada’ahMumayyizah,
yaitu orang istikhadloh yang pernah haid dan suci serta mengerti bahwa dirinya mengeluarkan
darah dua macam atau lebih.
4)
Mubtada’ah
Ghoiru MumayyizahDzakirotun Li’adatiha Qodron Wa Waqtan, yaitu Wanita yang
sudah pernah haid dan sudah pernah suci yang tidak Mumayyiz, dan ingat adat/kebiasaannya
baik kira-kira (lama)nya dan waktu (mulai) nya.
5)
Mubtada’ah
Ghoiru Nasiyatun Li’adatiha Qodron Wa Waqtan, yaitu orang istikhadloh yang
pernah haid dan suci, darahnya satu macam dan tidak mengerti akan waktu adat
haidnya yang pernah ia jalankan, wanita yang demikian ini juga disebut
Mutahayyiroh.
6)
Mubtada’ah
Ghoiru Mumayyizah Dzakirotun Li’adatiha Qodron La Wawaqtan, yaitu orang
istikhadloh yang pernah haid dan suci, darahnya hanya satu macam dan ia hanya
ingat pada banyak sedikitnya haid yang menjadi adatnya tadi, namun tidak ingat
waktunya.
7)
Mubtada’ah
Ghoiru Mumayyizah Dzakirotun Li’adatiha Waqtan La Qodron,yaitu orang
istikhadloh yang pernah haid dan suci, darahnya hanya satu macam atau tidak
bisa membedakan darah, dan ia ingat akan waktu haid adatnya, tapi tidak ingat
pada banyak sedikitnya.
b.
Shalat bagi
orang Istikhadloh
Orang yang istikhadloh tetap wajib
melaksanakan shalat. Karena hadast dan najisnya maka jika akan melaksanakan
sholat harus melakukan 4 perkara terlebih dahulu, yaitu:
1)
Mambasuh farji
2)
Menyumbat farji
dengan kapas/sejenisnya, supaya darah tidak menetes
3)
Membalut farji
dengan celana dalam atau sejenisnya
4)
Bersuci dengan
wudlu atau tayamum
C.
Tayamum
Tayamum secara Bahasa berarti
menyengaja. Dan secara istilah syara’ adalah mengusap muka dan tangan dengan
debu yang suci dengan cara yang khusus sebagai pengganti wudlu maupun mandi
besar.[4]
1.
Sebab-sebab
tayamum
a.
Tidak
mendapatkan air
b.
Sakit dan takut
jika sakitnya bertambah parah jika terkena air
c.
Terbatasnya air
2.
Syarat-syarat
tayamum
a.
Mencari air
sebelum menjalankan tayamum
b.
Menyengaja
memakai debu yang suci, yang sangat lembut dan tidak bercampur kerikil
c.
Tayamum
dilakukan setelah masuk waktu shalat
d.
Tayamum hanya
berlaku untuk satu shalat fardhu
3.
Rukun tayamum
a.
Niat
b.
Mengusap muka
dan dua tangan sampai siku
c.
Berurutan
4.
Sunah-sunah
tayamum
a.
Membaca
basmalah
b.
Mendahulukan
yang kanan
c.
Antara rukun
yang satu dengan yang lain tak ada jeda waktu yang panjang
5.
Hal-hal yang
membatalkan tayamum
a.
Apa saja yang
membatalkan wudlu
b.
Melihat air
sebelum melaksanakan shalat
c.
Murtad
6. Tata cara tayamum yang shahih dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
a. Menetup telapak tangan ke sho’id
sekali tepukan.
b. Meniup kedua tangan tersebut.
c. Mengusap wajah sekali.
d. Mengusap punggung telapak tangan
sekali.
Dalil pendukung dari tata cara di atas dapat dilihat dalam
hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini.
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ
الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ
أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ ،
وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله
عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ
يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ
الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin
Al Khottob, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin
Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khottob mengenai kejadian ia dahulu, “Aku
dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun
aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun
menyebutkan tindakanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas
beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tytangannya ke
tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tersebut, kemudian beliau mengusap wajah
dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ
ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ
وَوَجْهَهُ
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan,
kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan kanan, lalu beliau usap punggung
kedua telapak tangannya, dan mengusap wajahnya.”
D.
Shalat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology
(istilah), para ahli Fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki.
Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah
kepada Allah menurut syarat-syarat yang telahditentukan’(Sidi Gazalba,88).
Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada
Allah,secara yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan
keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan’
(Hasbi Asy-syidiqi,59)
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi
antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan
amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang
telah ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi,30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat
adalah Suatu ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang
telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah
dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.
1.
Dalil perintah shalat
Dalil yang
mewajibkan shalat banyak sekali, baik dalam Al Qur’an maupun dalam Hadits nabi
Muhammad SAW.
Dalil Ayat-ayat Al Qur’an yang mewajibkan shalat antara lain berbunyi;
Dalil Ayat-ayat Al Qur’an yang mewajibkan shalat antara lain berbunyi;
a.
“Dan
dirikanlah Shalat, dan keluarkanlah Zakat, dan ruku’lah bersama-sama orang yang
ruku" (QS.Al
Baqarah;43)
b.
Kerjakanlah
shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan yang jahat dan mungkar” (QS. Al-Ankabut;45)
c.
Perintah shalat
ini hendaklah ditanamkan dalam hati dan jiwa kita umat muslim dan anak-anak
dengan cara pendidikan yang lcermat, dan dilakukan sejak kecil sebagaimana
tersebut dalam hadis nabi Muhammad SAW :Perintahkanlah anak-anakmu
mengerjakan shalat diwaktu usia mereka meningkat tujuh tahun, dan pukulah
(kalau mereka enggan melasanakan shalat) diwaktu usia mereka meningkat sepuluh
tahun (HR.. Abu Dawud)
2.
Syarat-Syarat
Shalat
a.
Beragama islam
b.
Sudah baligh
dan berakal
c.
Suci dari
hadats
d.
Suci seluruh
anggota badan pakaian dan tempat
e.
Menutup aurat
f.
Masuk waktu
yang telah ditentukan
g.
Menghadap
kiblat
h.
Mengetahui mana
rukun wajib dan sunah.
3.
Rukun Shalat
a.
Niat
b.
Takbiratul
ihram
c.
Berdiri tegak
,bagi yang kuasa ketika shalat fardhu. Boleh duduk,atau berbareng bagi yang
sedang sakit.
d.
Membaca surat
Al-Fatihah pada tiap-tiap raka’at
e.
Ruku’ dengan
tumakninah
f.
I’tidal dengan
tumakninah
g.
Sujud dua kali
dengan tumakninah
h.
Duduk antara
dua sujud dengan tumakninah
i.
Duduk tasyahud
akkhir dengan tumakninah
j.
Membaca
tasyahud akhir
k.
Membaca
shalawat nabi pada tasyahud akhir
l.
Membaca salam
yang pertama
m.
Tertib;
(Berurutan sesuai rukun-rukunnya)
4.
Yang
Membatalkan Shalat
a.
Berhadats
b.
Terkena Najis
yang tidak dimaafkan.
c.
Berkata-kata
dengan sengaja di;luar bacaan shalat.
d.
Terbuka
auratnya
e.
Mengubah niat,
misal ingin memutuskan shalat (niat berhenti shalat)
f.
Makan atau
/minum.walau sedikit,
g.
Bergerak tiga
kali berturut-turut, diluar gerakan shalat.
h.
Membelakangi
kiblat
i.
Menambah rukun
yang berupa perbuatan, seperti menambah ruku’sujud atau lainnya dengan sengaja.
j.
Tertawa
terbahak-bahak
k.
Mendahului Imam
dua rukun.
l.
Murtad, keluar
dari Islam.
5.
Sunah dalam
Melakukan Shalat
a.
Sunah
Ab’adh
1)
Membaca
tasyahud awal
2)
Memnbaca
shalawat pada tasyahud awal,
3)
Membaca
shalawat atas keluarga Nabi SAW pada tasyahud akhir.
4)
Memnbaca Qunut
pada shalat Subuh dan shalat witir.
b.
Sunah
Hai’at
1)
Mengangkat
kedua belah tangan ketika takbiratul ikhram,ketika akan ruku’ dan ketika
berdiri dari ruku’.
2)
Meletakan
telapak tangan yang kanan diatas pergelangan tangan kiri ketika sedekap,
3)
Membaca do’a
Iftitah sehabis takbiratul ikhram.
4)
Membaca
Ta’awwudz ketika hendak membaca fatihah,
5)
Membaca Amiin
ketika sesudah membaca Fatihah,
6)
Membaca surat
Al-Qor’an pada dua raka’t permulaan sehabis membaca Fatihah,
7)
Mengeraskan
bacaan Fatihah dan surat pada raka’at pertama dan kedua, pada shalat magrib,
isya’ dan subuh selain makmum.
8)
Membaca Takbir
ketika gerakan naik turun,
9)
Membaca tasbih
ketika ruku’ dan sujud.
10)
Membaca
“sami’allaahu liman hamidah” ketika bangkit dari ruku’ dan membaca “Rabbanaa
lakal Hamdu” ketika I’tidal,
11)
Meletakan kedua
telapak tangan diatas paha ketika duduk tasyahud awal dan tasyahud akhir,dengan
membentangkan yang kiri dan mengenggamkan yang kanan, kecuali jari telumjuk.
12)
Duduk Iftirasy
dalam semua duduk shalat,
13)
Duduk Tawarruk
pada duduk tasyahud akhir
14)
Membaca salam
yang kedua.
15)
Memalingkan
muka ke kanan dan kekiri ketika membaca salam pertama dan kedua
6.
Makruh Shalat
a.
Menaruh telapak
tangan di dalam lengan bajunya ketika Takbiratul ikhram, ruku’ dan jsujud.
b.
Menutup
mulutnya rapat rapat.
c.
Terbuka
kepalanya,
d.
Bertolak
pinggang,
e.
Memalingkan
muka ke kiri dan ke kanan.
f.
Memejamkan
mata,
g.
Menengadah ke
langit,
h.
Menahan hadats
i.
Berludah
j.
Mengerjakan
shalat di atas kuburan,
k.
Melakukan
hal-hal yang mengurangi kekhusukan shalat.
7.
Perbedaan
laki-laki dan perempuan dalam shalat
Laki-laki
|
Perempuan
|
||
1.
|
Merenggangkan
kedua siku tangannya dari kedua lambungnya waktu ruku’ dan sujud.
|
1.
|
Merapatkan
satu anggota kepada anggota lainnya.
|
2.
|
Waktu
ruku’ dan sujud mengangkat perutnya dari pahanya.
|
2.
|
Meletakan
perutnya pada dua tangan/ sikunya ketika sujud.
|
3.
|
Menyaringkan
suaranya /bacaanya dikeraskan di tempatr keras.
|
3.
|
Merendahkan suaranya/ bacaanya dihadapan
laki-laki lain yang bukan muhrimnya.
|
4.
|
Bila
memberi tahu sesuatu dengan membaca Tasbih, yakni ‘Subhaanallah’
|
4.
|
Bila
memberitahu sesuatu dengan bertepuk tangan,yakni tangan kanan ditepukkan ke
punggung telapak tangan kiri.
|
5.
|
Auratnya
barang antara Pusar dan lutut.
|
5.
|
Auratnya
seluruh anggouta tubuh kecuali bagian muka dan kedua telapak tangan
|
8.Tata
cara sholat
1.) Berdiri
menghadap kiblat dan berniat di dalam hati
2.)
Takbiratul ihram dan takbir dan mengangkat kedua tangan sejajar telinga dengan
merapatkan jari-jari dan mengarahkan telapak tangan kea rah kiblat.
3.)
Bersedekap lalu membaca doa iftitah.
artinya:
“Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku
sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah, bersihkanlah
aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran.
Ya, Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.”
(HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah).
artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari
semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya
(yang menyebabkan kerusakan akhlaq).”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
5.) Membaca surat setelah membaca surat al-fatihah
6.) Rukuk dengan meluruskan belakang kepala dengan punggung,
dan harus lurus, telapak tangan menempel lutut dan membaca:
Artinya:
“Maha Suci Rabbku lagi Maha Agung dan segenap pujian
bagi-Nya.”
Kemudian bangkit dan sambal membaca:
Ya, Allah, Rabbku dan segala puji kepada-Mu
Artinya
:“Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi”
Artinya: “Wahai Rabbku ampunilah aku,
rakhmatilah aku, angkatlah aku, berilah aku rezeki, dan berilah aku
petunjuk”(HR. Ahmad dan Ibnu majjah)
9.) Tasyahud Awal dan Akhir
Artinya: segala
kehormaatan, shalawat dann kebaikan kepunyaan Allah, semoga keselamatan
terlimpah atasmu wahai Nabi dan juga rahmat Allah dan barakah-Nya. Kiranya
keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih; -karena
sesungguhnya apabila kalian mengucapkan sudah mengenai semua hamba Allah yang
shalih di langit dan di bumi- Aku bersaksi bersaksi bahwa tidak ada ilah yang
haq selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammmad itu hamba daan
utusan-Nya. (Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Al Bukhari).
Artinya: “Ya Allah berikanlah Shalawat kepada Muhammad dan
keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada keluarga
Ibarahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah berkahilah
Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga
Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seperti
disebutkan dalam defenisi di atas, tujuan pembuatan makalah fiqih tentang KHUF,
NIFAS, HAID, ISTIKHADLOH, TAYAMUM, dan SHALAT adalah untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya. Tujuan ini berupa suatu hasil, ataupun output
tentang kesimpulan makalah tersebut.
Ardani Muhammad,
Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh, (Surabaya: Al-Miftah)
Qodim Husnul
dkk, Fiqih Ibadah, (Jakarta:Transwacana)
[1]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh,
(Surabaya: Al-Miftah). Hal. 12
[2]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh,
(Surabaya: Al-Miftah). Hal. 52
[3]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh,
(Surabaya: Al-Miftah). Hal. 62
[4]Qodim Husnul dkk, Fiqih Ibadah, (Jakarta:Transwacana).
Hal. 20
No comments:
Post a Comment