Sunday, December 20, 2015

KHUF,HAID,NIFAS,ISTIKHADLOH,TAYAMUM,SHALAT

Makalah Fiqih

KHUF,HAID,NIFAS,ISTIKHADLOH,TAYAMUM,SHALAT
















Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah “
ILMU FIQIH
Dosen Pembimbing: H.M Idris Hasan, Lc. PH. D

Disusun Oleh:
1.      Titin Sri Rejeki
2.      Elis Listiani
3.      Al MarufSetya Putra
4.      Reza maulana      
Semester 3 Tarbiyah B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN TSAURI (STAIS)
Jl. KH. Sufyan Tsauri Telp. 0280 622318 Majenang 53257

Tahun Akademik 2015/2016
KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “KHUF, HAID, NIFAS, ISTIKHADLOH, TAYAMUM, dan SHALAT”.
            Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun makalah ini sampai selesai.
            Kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk penyusunan makalah yang selanjutnya agar jauh lebih baik dari sebelumnya.
            Akhir kata kami ucapkan terimakasih dan semoga makalah ini bemanfaat bagi kami khususnya bagi para pembaca.


                                                                            Majenang, 28 Oktober 2015


                                                                                                Penulis




Daftar Isi

Kata Pengantar         ............................................................................................ i
Daftar Isi          ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
     A.    Latar Belakang        ................................................................................ 1 
     B.     Rumusan Masalah        ........................................................................... 1
     C.     Tujuan Pembahasan     ............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
     A.    Mengusap Khuf         .............................................................................. 2
    B.     Haid,Nifas,Istikhadloh  .......................................................................... 8
    C.     Tayamum .............................................................................................. 15 
     D.    Shalat  ................................................................................................... 17
BAB III PENUTUP
   A.    Kesimpulan         ................................................................................... 11
Daftar Pustaka         ........................................................................................... iii    
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di tengah kehidupan bangsa yang semakin komplek ini, dunia pendidikan dituntun harus mampu menyajikan kurikulum yang makin beragam. Akibatnya masalah fighiyah mendapat porsi yang kian terbatas dengan bahasan yang cenderung global. Begitu pula realita yang dialami oleh pelajaran Risalatul Mahidl yang merupakan sub bahasan dari bidang fiqih.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud khuf?
2.      Bagaimana hukum mengusap khuf?
3.      Bagaimana cara mengusap khuf?
4.      Apa yang dimaksud haid,nifas,dan Istihadloh?
5.      Apa yang dimaksud tayamum?
6.      Bagaimana tata cara tayamum?
7.      Apa pengertian shalat?
8.      Bagaimana tata cara shalat?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui tentang makna khuf, hukum,dan cara mengusap khuf
2.      Untuk mengetahui tentang haid, nifas, dan istikhadloh
3.      Untuk mengetahui makna tayamum dan tata caranya
4.      Untuk mengetahui makna shalat dan tata caranya


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mengusap Khuf
Khuf adalah alas kaki dari kulit yang menutupi mata kaki.Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mash” yaitu tangan yang dalam keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu. Jadi yang dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki saat berwudhu.
1.    Dalil Pensyariatan Khuf
Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,
Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”
Ada juga riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jarir. Saya pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui bahwa Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jarir ternyata belakangan setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki (bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.
2.    Hukum Mengusap Khuf
Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam. Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh (keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan.
3.    Syarat Bolehnya Mengusap Khuf
Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi) terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,
دَعْهُمَا ، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.”
 Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja. Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna adalah syarat yang disepakati oleh para ulama.
Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh dan kuat digunakan untuk berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan lemahnya pendapat tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang didapati pada khuf seperti adanya belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di masa dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf baru.” Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf dan selama masih kuat untuk digunakan berjalan.
4.    Bagian Mana yang Diusap?
Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf, atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap adalah bagian punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ) yang sudah disebutkan di awal.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”
5.    Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf
Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).
Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,
فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.
Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.”
Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.
Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil (kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi Ahmad usai.
6.    Cara Mengusap Khuf
Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf, kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas.
7.    Pembatal Mengusap Khuf
a.    Berakhirnya waktu mengusap khuf.
b.   Terkena junub.
c.    Melepas sepatu.
Jika khuf dilepas dan masa mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan kakinya dalam keadaan tidak suci.
Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya.
8.    Hikmah Mengusap Khuf
Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung.

B.     Haid,Nifas,dan Istihadhah
Kaum wanita wajib belajar tentang hokum-hukum haid,nifas,dan istihadhah yang dibutuhkan. Jika sudah punya suami, dan suaminya mengerti hukum-hukum tersebut, maka suaminya wajib mengajarinya.[1]
1.      Haid
Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita. Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.
Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan rasa sakit pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika keluar didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang keluar kemudian.
Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)
a.       Batasan Haid :
1)       Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan batas maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat. 
2)       Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati oleh sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan maksimal masa haid :
Firman Allah Ta’ala.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau patokannya adalah keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan sifatnya dalah darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika tidak dijumpai darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa sekiranya memang ada batasan hari tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang hal ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullahmengatakan :“Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
b.      Berhentinya haid :
Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir putih (seperti keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai adanya lendir putih ini, maka bisa dengan mengeceknya menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib mandi dan shalat.
Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning, dan kemudian Aisyah mengatakan :
لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ
“Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini terdapat dalam Shahih Bukhari).
2.      Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan. Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.
(1)  Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60 hari. 
(2)  Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah nifas adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, “Para wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648). Hadits ini diperselisihkan derajat kehasanannya. Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan Shahih. Wallahu a’lam.
(3)  Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.
Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid, yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya tidak terlalu hitam, kekentalan hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih kuat daripada darah haid.
3.      Istihadhah
Istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit, sehingga sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.
Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya, encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.
Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :
 جَاءَتَ فاَطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَلَتْ ياَرَسُوْلُ اللهِ اِنِّى امْرَاَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَاَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ ياَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، اِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَاِذَااَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فاَغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya itu (berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”
a.       Pembagian orang istikhadloh (Mustahadloh):
1)      Mubtada’ah Mumayyizah, yaitu orang istikhadloh atau mengeluarkan darah melebihi 15 hari yang sebelumnya belum pernah haid,serta mengerti bahwa darahnya dua macam (darah kuat dan darah lemah) atau melebihi dua macam.[2]
2)      Mubtada’ah GhoiruMumayyizah, yaitu orang istikhadloh yang belum pernah haid serta darahnya hanya satu macam.[3]
3)      Mubtada’ahMumayyizah, yaitu orang istikhadloh yang pernah haid dan suci serta mengerti bahwa dirinya mengeluarkan darah dua macam atau lebih.
4)    Mubtada’ah Ghoiru MumayyizahDzakirotun Li’adatiha Qodron Wa Waqtan, yaitu Wanita yang sudah pernah haid dan sudah pernah suci yang tidak Mumayyiz, dan ingat adat/kebiasaannya baik kira-kira (lama)nya dan waktu (mulai) nya.
5)      Mubtada’ah Ghoiru Nasiyatun Li’adatiha Qodron Wa Waqtan, yaitu orang istikhadloh yang pernah haid dan suci, darahnya satu macam dan tidak mengerti akan waktu adat haidnya yang pernah ia jalankan, wanita yang demikian ini juga disebut Mutahayyiroh.
6)      Mubtada’ah Ghoiru Mumayyizah Dzakirotun Li’adatiha Qodron La Wawaqtan, yaitu orang istikhadloh yang pernah haid dan suci, darahnya hanya satu macam dan ia hanya ingat pada banyak sedikitnya haid yang menjadi adatnya tadi, namun tidak ingat waktunya.
7)      Mubtada’ah Ghoiru Mumayyizah Dzakirotun Li’adatiha Waqtan La Qodron,yaitu orang istikhadloh yang pernah haid dan suci, darahnya hanya satu macam atau tidak bisa membedakan darah, dan ia ingat akan waktu haid adatnya, tapi tidak ingat pada banyak sedikitnya.
b.      Shalat bagi orang Istikhadloh
Orang yang istikhadloh tetap wajib melaksanakan shalat. Karena hadast dan najisnya maka jika akan melaksanakan sholat harus melakukan 4 perkara terlebih dahulu, yaitu:
1)      Mambasuh farji
2)      Menyumbat farji dengan kapas/sejenisnya, supaya darah tidak menetes
3)      Membalut farji dengan celana dalam atau sejenisnya
4)      Bersuci dengan wudlu atau tayamum

C.    Tayamum
Tayamum secara Bahasa berarti menyengaja. Dan secara istilah syara’ adalah mengusap muka dan tangan dengan debu yang suci dengan cara yang khusus sebagai pengganti wudlu maupun mandi besar.[4]
1.      Sebab-sebab tayamum
a.         Tidak mendapatkan air
b.        Sakit dan takut jika sakitnya bertambah parah jika terkena air
c.         Terbatasnya air
2.      Syarat-syarat tayamum
a.         Mencari air sebelum menjalankan tayamum
b.        Menyengaja memakai debu yang suci, yang sangat lembut dan tidak bercampur kerikil
c.         Tayamum dilakukan setelah masuk waktu shalat
d.        Tayamum hanya berlaku untuk satu shalat fardhu
3.      Rukun tayamum
a.         Niat
b.        Mengusap muka dan dua tangan sampai siku
c.         Berurutan
4.      Sunah-sunah tayamum
a.         Membaca basmalah
b.        Mendahulukan yang kanan
c.         Antara rukun yang satu dengan yang lain tak ada jeda waktu yang panjang
5.      Hal-hal yang membatalkan tayamum
a.       Apa saja yang membatalkan wudlu
b.      Melihat air sebelum melaksanakan shalat
c.       Murtad
6.      Tata cara tayamum yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
a.    Menetup telapak tangan ke sho’id sekali tepukan.
b.    Meniup kedua tangan tersebut.
c.    Mengusap wajah sekali.
d.   Mengusap punggung telapak tangan sekali.
Dalil pendukung dari tata cara di atas dapat dilihat dalam hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini.
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin Al Khottob, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khottob mengenai kejadian ia dahulu, “Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun menyebutkan tindakanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tytangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan kanan, lalu beliau usap punggung kedua telapak tangannya, dan mengusap wajahnya.”
D.    Shalat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology (istilah), para ahli Fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki.
Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telahditentukan’(Sidi Gazalba,88).
Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada Allah,secara yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan’ (Hasbi Asy-syidiqi,59)
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi,30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat adalah Suatu ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.
1.      Dalil perintah shalat
Dalil yang mewajibkan shalat banyak sekali, baik dalam Al Qur’an maupun dalam Hadits nabi Muhammad SAW.
Dalil Ayat-ayat Al Qur’an yang mewajibkan shalat antara lain berbunyi;
a.       “Dan dirikanlah Shalat, dan keluarkanlah Zakat, dan ruku’lah bersama-sama orang yang ruku" (QS.Al Baqarah;43)
b.      Kerjakanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan yang jahat dan mungkar” (QS. Al-Ankabut;45)
c.       Perintah shalat ini hendaklah ditanamkan dalam hati dan jiwa kita umat muslim dan anak-anak dengan cara pendidikan yang lcermat, dan dilakukan sejak kecil sebagaimana tersebut dalam hadis nabi Muhammad SAW :Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat diwaktu usia mereka meningkat tujuh tahun, dan pukulah (kalau mereka enggan melasanakan shalat) diwaktu usia mereka meningkat sepuluh tahun (HR.. Abu Dawud)
2.      Syarat-Syarat Shalat
a.               Beragama islam
b.              Sudah baligh dan berakal
c.               Suci dari hadats
d.              Suci seluruh anggota badan pakaian dan tempat
e.               Menutup aurat
f.               Masuk waktu yang telah ditentukan
g.              Menghadap kiblat
h.              Mengetahui mana rukun wajib dan sunah.
3.      Rukun Shalat
a.               Niat
b.              Takbiratul ihram
c.              Berdiri tegak ,bagi yang kuasa ketika shalat fardhu. Boleh duduk,atau berbareng bagi yang sedang sakit.
d.              Membaca surat Al-Fatihah pada tiap-tiap raka’at
e.               Ruku’ dengan tumakninah
f.               I’tidal dengan tumakninah
g.              Sujud dua kali dengan tumakninah
h.              Duduk antara dua sujud dengan tumakninah
i.                Duduk tasyahud akkhir dengan tumakninah
j.                Membaca tasyahud akhir
k.              Membaca shalawat nabi pada tasyahud akhir
l.                Membaca salam yang pertama
m.            Tertib; (Berurutan sesuai rukun-rukunnya)
4.      Yang Membatalkan Shalat
a.               Berhadats
b.              Terkena Najis yang tidak dimaafkan.
c.               Berkata-kata dengan sengaja di;luar bacaan shalat.
d.              Terbuka auratnya
e.              Mengubah niat, misal ingin memutuskan shalat (niat berhenti shalat)
f.               Makan atau /minum.walau sedikit,
g.              Bergerak tiga kali berturut-turut, diluar gerakan shalat.
h.              Membelakangi kiblat
i.               Menambah rukun yang berupa perbuatan, seperti menambah ruku’sujud atau lainnya dengan sengaja.
j.                Tertawa terbahak-bahak
k.              Mendahului Imam dua rukun.
l.                Murtad, keluar dari Islam.
5.      Sunah dalam Melakukan Shalat
a.      Sunah Ab’adh
1)    Membaca tasyahud awal
2)    Memnbaca shalawat pada tasyahud awal,
3)        Membaca shalawat atas keluarga Nabi SAW pada tasyahud akhir.
4)    Memnbaca Qunut pada shalat Subuh dan shalat witir.
b.      Sunah Hai’at
1)   Mengangkat kedua belah tangan ketika takbiratul ikhram,ketika akan ruku’ dan ketika berdiri dari ruku’.
2)   Meletakan telapak tangan yang kanan diatas pergelangan tangan kiri ketika sedekap,
3)    Membaca do’a Iftitah sehabis takbiratul ikhram.
4)    Membaca Ta’awwudz ketika hendak membaca fatihah,
5)    Membaca Amiin ketika sesudah membaca Fatihah,
6)    Membaca surat Al-Qor’an pada dua raka’t permulaan sehabis membaca Fatihah,
7)        Mengeraskan bacaan Fatihah dan surat pada raka’at pertama dan kedua, pada shalat magrib, isya’ dan subuh selain makmum.
8)    Membaca Takbir ketika gerakan naik turun,
9)    Membaca tasbih ketika ruku’ dan sujud.
10)    Membaca “sami’allaahu liman hamidah” ketika bangkit dari ruku’ dan membaca “Rabbanaa lakal Hamdu” ketika I’tidal,
11)    Meletakan kedua telapak tangan diatas paha ketika duduk tasyahud awal dan tasyahud akhir,dengan membentangkan yang kiri dan mengenggamkan yang kanan, kecuali jari telumjuk.
12)    Duduk Iftirasy dalam semua duduk shalat,
13)    Duduk Tawarruk pada duduk tasyahud akhir
14)    Membaca salam yang kedua.
15)    Memalingkan muka ke kanan dan kekiri ketika membaca salam pertama dan kedua
6.      Makruh Shalat
a.    Menaruh telapak tangan di dalam lengan bajunya ketika Takbiratul ikhram, ruku’ dan jsujud.
b.    Menutup mulutnya rapat rapat.
c.    Terbuka kepalanya,
d.   Bertolak pinggang,
e.    Memalingkan muka ke kiri dan ke kanan.
f.     Memejamkan mata,
g.    Menengadah ke langit,
h.    Menahan hadats
i.      Berludah
j.      Mengerjakan shalat di atas kuburan,
k.    Melakukan hal-hal yang mengurangi kekhusukan shalat.
7.      Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam shalat
Laki-laki
Perempuan
1.



Merenggangkan kedua siku tangannya dari kedua lambungnya waktu ruku’ dan sujud.
1.



Merapatkan satu anggota kepada anggota lainnya.

2.




Waktu ruku’ dan sujud mengangkat perutnya  dari pahanya.
2.




Meletakan perutnya pada dua tangan/ sikunya ketika sujud.
3.



Menyaringkan suaranya /bacaanya dikeraskan di tempatr keras.

3.


 Merendahkan suaranya/ bacaanya dihadapan laki-laki lain yang bukan muhrimnya.

4.
Bila memberi tahu sesuatu dengan membaca Tasbih, yakni ‘Subhaanallah’

4.
Bila memberitahu sesuatu dengan bertepuk tangan,yakni tangan kanan ditepukkan ke punggung telapak tangan kiri.
5.
Auratnya barang antara Pusar dan lutut.
5.
Auratnya seluruh anggouta tubuh kecuali bagian muka dan kedua telapak tangan 




                   8.Tata cara sholat
1.) Berdiri menghadap kiblat dan berniat di dalam hati
2.) Takbiratul ihram dan takbir dan mengangkat kedua tangan sejajar telinga dengan merapatkan jari-jari dan mengarahkan telapak tangan kea rah kiblat.
3.) Bersedekap lalu membaca doa iftitah.
artinya:
“Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya, Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah).
4.) Membaca ta’awudz sebelum membaca al-fatihah

artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq).”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
5.) Membaca surat setelah membaca surat al-fatihah

6.) Rukuk dengan meluruskan belakang kepala dengan punggung, dan harus lurus, telapak tangan menempel lutut dan membaca:
                                                                3x
Artinya:
“Maha Suci Rabbku lagi Maha Agung dan segenap pujian bagi-Nya.”

 Kemudian bangkit dan sambal membaca:

Artinya: “Rabbku, segala puji kepada-Mu
Ya, Allah, Rabbku dan segala puji kepada-Mu


7.) Sujud dengan meletakkan 7 anggota sujud dengan sempurna kemudian membaca doa :
Artinya :“Maha Suci Rabbku  yang Maha Tinggi”
8.) Duduk di antara dua sujud dan membaca:


Artinya: “Wahai Rabbku ampunilah aku, rakhmatilah aku, angkatlah aku, berilah aku rezeki, dan berilah aku petunjuk”(HR. Ahmad dan Ibnu majjah)



9.) Tasyahud Awal dan Akhir

Doa tasyahud awal:




Artinya: segala kehormaatan, shalawat dann kebaikan kepunyaan Allah, semoga keselamatan terlimpah atasmu wahai Nabi dan juga rahmat Allah dan barakah-Nya. Kiranya keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih; -karena sesungguhnya apabila kalian mengucapkan sudah mengenai semua hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi- Aku bersaksi bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammmad itu hamba daan utusan-Nya.   (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari).

Doa Tasyahud akhir:



Artinya: “Ya Allah berikanlah Shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada keluarga Ibarahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.”
10.) Salam




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Seperti disebutkan dalam defenisi di atas, tujuan pembuatan makalah fiqih tentang KHUF, NIFAS, HAID, ISTIKHADLOH, TAYAMUM, dan SHALAT adalah untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan ini berupa suatu hasil, ataupun output tentang kesimpulan makalah tersebut.





[1]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh, (Surabaya: Al-Miftah). Hal. 12

[2]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh, (Surabaya: Al-Miftah). Hal. 52
[3]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh, (Surabaya: Al-Miftah). Hal. 62
[4]Qodim Husnul dkk, Fiqih Ibadah, (Jakarta:Transwacana). Hal. 20BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di tengah kehidupan bangsa yang semakin komplek ini, dunia pendidikan dituntun harus mampu menyajikan kurikulum yang makin beragam. Akibatnya masalah fighiyah mendapat porsi yang kian terbatas dengan bahasan yang cenderung global. Begitu pula realita yang dialami oleh pelajaran Risalatul Mahidl yang merupakan sub bahasan dari bidang fiqih.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud khuf?
2.      Bagaimana hukum mengusap khuf?
3.      Bagaimana cara mengusap khuf?
4.      Apa yang dimaksud haid,nifas,dan Istihadloh?
5.      Apa yang dimaksud tayamum?
6.      Bagaimana tata cara tayamum?
7.      Apa pengertian shalat?
8.      Bagaimana tata cara shalat?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui tentang makna khuf, hukum,dan cara mengusap khuf
2.      Untuk mengetahui tentang haid, nifas, dan istikhadloh
3.      Untuk mengetahui makna tayamum dan tata caranya
4.      Untuk mengetahui makna shalat dan tata caranya


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mengusap Khuf
Khuf adalah alas kaki dari kulit yang menutupi mata kaki.Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mash” yaitu tangan yang dalam keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu. Jadi yang dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki saat berwudhu.
1.    Dalil Pensyariatan Khuf
Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,
Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”
Ada juga riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jarir. Saya pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui bahwa Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jarir ternyata belakangan setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki (bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.
2.    Hukum Mengusap Khuf
Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam. Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh (keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan.
3.    Syarat Bolehnya Mengusap Khuf
Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi) terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,
دَعْهُمَا ، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.”
 Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja. Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna adalah syarat yang disepakati oleh para ulama.
Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh dan kuat digunakan untuk berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan lemahnya pendapat tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang didapati pada khuf seperti adanya belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di masa dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf baru.” Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf dan selama masih kuat untuk digunakan berjalan.
4.    Bagian Mana yang Diusap?
Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf, atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap adalah bagian punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ) yang sudah disebutkan di awal.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”
5.    Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf
Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).
Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,
فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.
Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.”
Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.
Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil (kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi Ahmad usai.
6.    Cara Mengusap Khuf
Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf, kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas.
7.    Pembatal Mengusap Khuf
a.    Berakhirnya waktu mengusap khuf.
b.   Terkena junub.
c.    Melepas sepatu.
Jika khuf dilepas dan masa mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan kakinya dalam keadaan tidak suci.
Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya.
8.    Hikmah Mengusap Khuf
Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung.

B.     Haid,Nifas,dan Istihadhah
Kaum wanita wajib belajar tentang hokum-hukum haid,nifas,dan istihadhah yang dibutuhkan. Jika sudah punya suami, dan suaminya mengerti hukum-hukum tersebut, maka suaminya wajib mengajarinya.[1]
1.      Haid
Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita. Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.
Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan rasa sakit pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika keluar didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang keluar kemudian.
Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)
a.       Batasan Haid :
1)       Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan batas maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat. 
2)       Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati oleh sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan maksimal masa haid :
Firman Allah Ta’ala.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau patokannya adalah keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan sifatnya dalah darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika tidak dijumpai darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa sekiranya memang ada batasan hari tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang hal ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullahmengatakan :“Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
b.      Berhentinya haid :
Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir putih (seperti keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai adanya lendir putih ini, maka bisa dengan mengeceknya menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib mandi dan shalat.
Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning, dan kemudian Aisyah mengatakan :
لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ
“Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini terdapat dalam Shahih Bukhari).
2.      Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan. Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.
(1)  Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60 hari. 
(2)  Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah nifas adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, “Para wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648). Hadits ini diperselisihkan derajat kehasanannya. Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan Shahih. Wallahu a’lam.
(3)  Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.
Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid, yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya tidak terlalu hitam, kekentalan hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih kuat daripada darah haid.
3.      Istihadhah
Istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit, sehingga sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.
Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya, encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.
Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :
 جَاءَتَ فاَطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَلَتْ ياَرَسُوْلُ اللهِ اِنِّى امْرَاَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَاَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ ياَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، اِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَاِذَااَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فاَغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya itu (berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”
a.       Pembagian orang istikhadloh (Mustahadloh):
1)      Mubtada’ah Mumayyizah, yaitu orang istikhadloh atau mengeluarkan darah melebihi 15 hari yang sebelumnya belum pernah haid,serta mengerti bahwa darahnya dua macam (darah kuat dan darah lemah) atau melebihi dua macam.[2]
2)      Mubtada’ah GhoiruMumayyizah, yaitu orang istikhadloh yang belum pernah haid serta darahnya hanya satu macam.[3]
3)      Mubtada’ahMumayyizah, yaitu orang istikhadloh yang pernah haid dan suci serta mengerti bahwa dirinya mengeluarkan darah dua macam atau lebih.
4)    Mubtada’ah Ghoiru MumayyizahDzakirotun Li’adatiha Qodron Wa Waqtan, yaitu Wanita yang sudah pernah haid dan sudah pernah suci yang tidak Mumayyiz, dan ingat adat/kebiasaannya baik kira-kira (lama)nya dan waktu (mulai) nya.
5)      Mubtada’ah Ghoiru Nasiyatun Li’adatiha Qodron Wa Waqtan, yaitu orang istikhadloh yang pernah haid dan suci, darahnya satu macam dan tidak mengerti akan waktu adat haidnya yang pernah ia jalankan, wanita yang demikian ini juga disebut Mutahayyiroh.
6)      Mubtada’ah Ghoiru Mumayyizah Dzakirotun Li’adatiha Qodron La Wawaqtan, yaitu orang istikhadloh yang pernah haid dan suci, darahnya hanya satu macam dan ia hanya ingat pada banyak sedikitnya haid yang menjadi adatnya tadi, namun tidak ingat waktunya.
7)      Mubtada’ah Ghoiru Mumayyizah Dzakirotun Li’adatiha Waqtan La Qodron,yaitu orang istikhadloh yang pernah haid dan suci, darahnya hanya satu macam atau tidak bisa membedakan darah, dan ia ingat akan waktu haid adatnya, tapi tidak ingat pada banyak sedikitnya.
b.      Shalat bagi orang Istikhadloh
Orang yang istikhadloh tetap wajib melaksanakan shalat. Karena hadast dan najisnya maka jika akan melaksanakan sholat harus melakukan 4 perkara terlebih dahulu, yaitu:
1)      Mambasuh farji
2)      Menyumbat farji dengan kapas/sejenisnya, supaya darah tidak menetes
3)      Membalut farji dengan celana dalam atau sejenisnya
4)      Bersuci dengan wudlu atau tayamum

C.    Tayamum
Tayamum secara Bahasa berarti menyengaja. Dan secara istilah syara’ adalah mengusap muka dan tangan dengan debu yang suci dengan cara yang khusus sebagai pengganti wudlu maupun mandi besar.[4]
1.      Sebab-sebab tayamum
a.         Tidak mendapatkan air
b.        Sakit dan takut jika sakitnya bertambah parah jika terkena air
c.         Terbatasnya air
2.      Syarat-syarat tayamum
a.         Mencari air sebelum menjalankan tayamum
b.        Menyengaja memakai debu yang suci, yang sangat lembut dan tidak bercampur kerikil
c.         Tayamum dilakukan setelah masuk waktu shalat
d.        Tayamum hanya berlaku untuk satu shalat fardhu
3.      Rukun tayamum
a.         Niat
b.        Mengusap muka dan dua tangan sampai siku
c.         Berurutan
4.      Sunah-sunah tayamum
a.         Membaca basmalah
b.        Mendahulukan yang kanan
c.         Antara rukun yang satu dengan yang lain tak ada jeda waktu yang panjang
5.      Hal-hal yang membatalkan tayamum
a.       Apa saja yang membatalkan wudlu
b.      Melihat air sebelum melaksanakan shalat
c.       Murtad
6.      Tata cara tayamum yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
a.    Menetup telapak tangan ke sho’id sekali tepukan.
b.    Meniup kedua tangan tersebut.
c.    Mengusap wajah sekali.
d.   Mengusap punggung telapak tangan sekali.
Dalil pendukung dari tata cara di atas dapat dilihat dalam hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini.
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin Al Khottob, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khottob mengenai kejadian ia dahulu, “Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun menyebutkan tindakanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tytangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan kanan, lalu beliau usap punggung kedua telapak tangannya, dan mengusap wajahnya.”
D.    Shalat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology (istilah), para ahli Fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki.
Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telahditentukan’(Sidi Gazalba,88).
Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada Allah,secara yang mendatangkan rasa takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan’ (Hasbi Asy-syidiqi,59)
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi,30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat adalah Suatu ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.
1.      Dalil perintah shalat
Dalil yang mewajibkan shalat banyak sekali, baik dalam Al Qur’an maupun dalam Hadits nabi Muhammad SAW.
Dalil Ayat-ayat Al Qur’an yang mewajibkan shalat antara lain berbunyi;
a.       “Dan dirikanlah Shalat, dan keluarkanlah Zakat, dan ruku’lah bersama-sama orang yang ruku" (QS.Al Baqarah;43)
b.      Kerjakanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan yang jahat dan mungkar” (QS. Al-Ankabut;45)
c.       Perintah shalat ini hendaklah ditanamkan dalam hati dan jiwa kita umat muslim dan anak-anak dengan cara pendidikan yang lcermat, dan dilakukan sejak kecil sebagaimana tersebut dalam hadis nabi Muhammad SAW :Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat diwaktu usia mereka meningkat tujuh tahun, dan pukulah (kalau mereka enggan melasanakan shalat) diwaktu usia mereka meningkat sepuluh tahun (HR.. Abu Dawud)
2.      Syarat-Syarat Shalat
a.               Beragama islam
b.              Sudah baligh dan berakal
c.               Suci dari hadats
d.              Suci seluruh anggota badan pakaian dan tempat
e.               Menutup aurat
f.               Masuk waktu yang telah ditentukan
g.              Menghadap kiblat
h.              Mengetahui mana rukun wajib dan sunah.
3.      Rukun Shalat
a.               Niat
b.              Takbiratul ihram
c.              Berdiri tegak ,bagi yang kuasa ketika shalat fardhu. Boleh duduk,atau berbareng bagi yang sedang sakit.
d.              Membaca surat Al-Fatihah pada tiap-tiap raka’at
e.               Ruku’ dengan tumakninah
f.               I’tidal dengan tumakninah
g.              Sujud dua kali dengan tumakninah
h.              Duduk antara dua sujud dengan tumakninah
i.                Duduk tasyahud akkhir dengan tumakninah
j.                Membaca tasyahud akhir
k.              Membaca shalawat nabi pada tasyahud akhir
l.                Membaca salam yang pertama
m.            Tertib; (Berurutan sesuai rukun-rukunnya)
4.      Yang Membatalkan Shalat
a.               Berhadats
b.              Terkena Najis yang tidak dimaafkan.
c.               Berkata-kata dengan sengaja di;luar bacaan shalat.
d.              Terbuka auratnya
e.              Mengubah niat, misal ingin memutuskan shalat (niat berhenti shalat)
f.               Makan atau /minum.walau sedikit,
g.              Bergerak tiga kali berturut-turut, diluar gerakan shalat.
h.              Membelakangi kiblat
i.               Menambah rukun yang berupa perbuatan, seperti menambah ruku’sujud atau lainnya dengan sengaja.
j.                Tertawa terbahak-bahak
k.              Mendahului Imam dua rukun.
l.                Murtad, keluar dari Islam.
5.      Sunah dalam Melakukan Shalat
a.      Sunah Ab’adh
1)    Membaca tasyahud awal
2)    Memnbaca shalawat pada tasyahud awal,
3)        Membaca shalawat atas keluarga Nabi SAW pada tasyahud akhir.
4)    Memnbaca Qunut pada shalat Subuh dan shalat witir.
b.      Sunah Hai’at
1)   Mengangkat kedua belah tangan ketika takbiratul ikhram,ketika akan ruku’ dan ketika berdiri dari ruku’.
2)   Meletakan telapak tangan yang kanan diatas pergelangan tangan kiri ketika sedekap,
3)    Membaca do’a Iftitah sehabis takbiratul ikhram.
4)    Membaca Ta’awwudz ketika hendak membaca fatihah,
5)    Membaca Amiin ketika sesudah membaca Fatihah,
6)    Membaca surat Al-Qor’an pada dua raka’t permulaan sehabis membaca Fatihah,
7)        Mengeraskan bacaan Fatihah dan surat pada raka’at pertama dan kedua, pada shalat magrib, isya’ dan subuh selain makmum.
8)    Membaca Takbir ketika gerakan naik turun,
9)    Membaca tasbih ketika ruku’ dan sujud.
10)    Membaca “sami’allaahu liman hamidah” ketika bangkit dari ruku’ dan membaca “Rabbanaa lakal Hamdu” ketika I’tidal,
11)    Meletakan kedua telapak tangan diatas paha ketika duduk tasyahud awal dan tasyahud akhir,dengan membentangkan yang kiri dan mengenggamkan yang kanan, kecuali jari telumjuk.
12)    Duduk Iftirasy dalam semua duduk shalat,
13)    Duduk Tawarruk pada duduk tasyahud akhir
14)    Membaca salam yang kedua.
15)    Memalingkan muka ke kanan dan kekiri ketika membaca salam pertama dan kedua
6.      Makruh Shalat
a.    Menaruh telapak tangan di dalam lengan bajunya ketika Takbiratul ikhram, ruku’ dan jsujud.
b.    Menutup mulutnya rapat rapat.
c.    Terbuka kepalanya,
d.   Bertolak pinggang,
e.    Memalingkan muka ke kiri dan ke kanan.
f.     Memejamkan mata,
g.    Menengadah ke langit,
h.    Menahan hadats
i.      Berludah
j.      Mengerjakan shalat di atas kuburan,
k.    Melakukan hal-hal yang mengurangi kekhusukan shalat.
7.      Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam shalat
Laki-laki
Perempuan
1.



Merenggangkan kedua siku tangannya dari kedua lambungnya waktu ruku’ dan sujud.
1.



Merapatkan satu anggota kepada anggota lainnya.

2.




Waktu ruku’ dan sujud mengangkat perutnya  dari pahanya.
2.




Meletakan perutnya pada dua tangan/ sikunya ketika sujud.
3.



Menyaringkan suaranya /bacaanya dikeraskan di tempatr keras.

3.


 Merendahkan suaranya/ bacaanya dihadapan laki-laki lain yang bukan muhrimnya.

4.
Bila memberi tahu sesuatu dengan membaca Tasbih, yakni ‘Subhaanallah’

4.
Bila memberitahu sesuatu dengan bertepuk tangan,yakni tangan kanan ditepukkan ke punggung telapak tangan kiri.
5.
Auratnya barang antara Pusar dan lutut.
5.
Auratnya seluruh anggouta tubuh kecuali bagian muka dan kedua telapak tangan 




                   8.Tata cara sholat
1.) Berdiri menghadap kiblat dan berniat di dalam hati
2.) Takbiratul ihram dan takbir dan mengangkat kedua tangan sejajar telinga dengan merapatkan jari-jari dan mengarahkan telapak tangan kea rah kiblat.
3.) Bersedekap lalu membaca doa iftitah.
artinya:
“Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya, Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah).
4.) Membaca ta’awudz sebelum membaca al-fatihah

artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq).”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
5.) Membaca surat setelah membaca surat al-fatihah

6.) Rukuk dengan meluruskan belakang kepala dengan punggung, dan harus lurus, telapak tangan menempel lutut dan membaca:
                                                                3x
Artinya:
“Maha Suci Rabbku lagi Maha Agung dan segenap pujian bagi-Nya.”

 Kemudian bangkit dan sambal membaca:

Artinya: “Rabbku, segala puji kepada-Mu
Ya, Allah, Rabbku dan segala puji kepada-Mu


7.) Sujud dengan meletakkan 7 anggota sujud dengan sempurna kemudian membaca doa :
Artinya :“Maha Suci Rabbku  yang Maha Tinggi”
8.) Duduk di antara dua sujud dan membaca:


Artinya: “Wahai Rabbku ampunilah aku, rakhmatilah aku, angkatlah aku, berilah aku rezeki, dan berilah aku petunjuk”(HR. Ahmad dan Ibnu majjah)



9.) Tasyahud Awal dan Akhir

Doa tasyahud awal:




Artinya: segala kehormaatan, shalawat dann kebaikan kepunyaan Allah, semoga keselamatan terlimpah atasmu wahai Nabi dan juga rahmat Allah dan barakah-Nya. Kiranya keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih; -karena sesungguhnya apabila kalian mengucapkan sudah mengenai semua hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi- Aku bersaksi bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammmad itu hamba daan utusan-Nya.   (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari).

Doa Tasyahud akhir:



Artinya: “Ya Allah berikanlah Shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada keluarga Ibarahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.”
10.) Salam




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Seperti disebutkan dalam defenisi di atas, tujuan pembuatan makalah fiqih tentang KHUF, NIFAS, HAID, ISTIKHADLOH, TAYAMUM, dan SHALAT adalah untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan ini berupa suatu hasil, ataupun output tentang kesimpulan makalah tersebut.


Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh, (Surabaya: Al-Miftah)
Qodim Husnul dkk, Fiqih Ibadah, (Jakarta:Transwacana)





[1]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh, (Surabaya: Al-Miftah). Hal. 12

[2]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh, (Surabaya: Al-Miftah). Hal. 52
[3]Ardani Muhammad, Risalah Haid,Nifas,dan Istikhadloh, (Surabaya: Al-Miftah). Hal. 62
[4]Qodim Husnul dkk, Fiqih Ibadah, (Jakarta:Transwacana). Hal. 20

No comments:

Post a Comment