Sunday, December 20, 2015

MACAM-MACAM THOHAROH, SIWAK DAN HUKUMNYA MACAM-MACAM NAJIS DAN CARA MENSUCIKANYA HADATS BESAR, KECIL DAN CARA MENSUCIKANYA

THOHAROH

MACAM-MACAM THOHAROH, SIWAK DAN HUKUMNYA
MACAM-MACAM NAJIS DAN CARA MENSUCIKANYA
HADATS BESAR, KECIL DAN CARA MENSUCIKANYA






Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen :H. M. Idris Hasan. Lc.Ph.D

Kelompok 1

Kelas 3B

Disusun oleh :

Banatus sholihah
Hayatul fikri
Rifki zakiyah


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN TSAURI (STAIS)
JL. KH. SUYAN TSAURI PO. BOX 18 CIBEUNYING
TELP. (0280)623562 MAJENANG 53257
TAHUN AKADEMIK 2015 / 2016









KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang di berikan oleh dosen pembimbing dalam mata kuliah Fiqih.  Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada pemimpin paling mulia, manusia yang paling baik akhlaknya yaitu Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabat serta pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Amin
Makalah ini berjudul “Thaharah” yang nantinya akan memberikan pemahaman kepada pembaca tentang hal-hal yang berkaitan dengan thaharah. . Mungkin penulis tidak bisa membuat makalah ini sesempurna mungkin. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan dari para pembaca. Khususnya dari dosen yang telah membimbing penulis dalam mata kuliah ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada dosen pembimbing saya yang telah memberikan arahan dan juga kepada orang-orang di sekitar saya yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini.


                                                                                              Karangpucung 21 Oktober 2015




                                                                                            Penyusun









DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…….……………………………………………………... 2
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..  2

BAB  I     PENDAHULUAN .................................................................................  4
A.    Latar Belakang………….………………………………………….   4
B.     Rumusan Masalah……………………………………………….....  4

BAB II   PEMBAHASAN…………………….………………………………....   5
A.    Makna Thaharah.....………………………………………………. 5
B.     Wudu.……………………………………………………………... 6
C.    Mandi…..…………………………………………………………...7
D.   Siwak……………………………………………………………….7
E.   Najis………………………………………………………………..10
F.   Hadats……………………………………………………………...15

                                                                                                        
BAB III  PENUTUP……………………. ………………………………………. 18
        Kesimpulan……………………………………………………………..18
 
               

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………................................ 19          


BAB I
 PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dalam berbagai macam kitab yang menjelaskan tentang fiqih selalu saja bab thaharah berada pada bab yang paling awal atau paling utama. Hal itu terjadi dikarenakan thaharah adalah bagian yang paling penting dipelajari. Melaksanakan shalat tanpa thaharah maka tentu saja shalat yang dikerjakan tidak sah. Dalam artian jika ada seseorang yang mengerjakan shalat tanpa bersesuci terlebih dahulu maka shalat yang ia kerjakan itu sia-sia. karena pada dasarnya islam memang mewajibkan setiap orang yang ingin melaksanakan shlat itu harus suci.
Firman Allah Swt
ان الله يحب التوابين ويحب المتطهرين . (البقرة : 122)
Artinya : sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci. (Al-Baqarah : 122).
Mungkin masih banyak dikalangan orang awam yang tidak tahu persis tentang pentingnya thaharah. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahsanya juga ada orang yang tahu akan thaharah namun mengabaikannya. maka dari pada itu penulis akan mencoba sedikit menjelaskan apa-apa yang penulis ketahui tentang thahara. Mudah-mudahan saja melalui makalah ini umat islam sadar akan pentingnya thaharah dan tidak mengabaikan pentingnya thaharah kembali.
B.        Rumusan Masalah
1.   Apa makna dari thaharah ?
2.   Apa saja bagian-bagian dari thaharah ?
3.   Ada berapa pembagian air dan jelaskan ?
4.   Apa pentingnya thaharah ?
5.  Ada berapapembagiannaijis?
6.  Apadefinisidarihadasdanberapapembagianya?

                  




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Makna Thaharah
“Thaharah adalah mengerjakan sesuatu, yang mana ibadah shalat tidak akan sah tanpa melaksanakan hal tersebut”. (mabaadiul Fiqh juz 3, Umar Abdul Jabbar : 8).  Yang dimaksud mengerjakan sesuatu di atas yaitu bersesuci. Yang mana bersesu-ci ini terbagi ke dalam dua bagian lagi. Yang pertama yaitu bersuci dari hadas dan yang kediua bersesuci dari kotoran atau najis. Yang dimasud bersuci dari hadas itu sendiri yaitu berwudu’, mandi besar, dan juga tayamum sebagai pengganti dari wu-du’. Sedangkan yang dimaksud dari bersuci dari  kotoran ataupun najis itu sendiri yaitu istinja’, dan menghilangkan najis dari badan, pakaian dan tempat.
Sedangakan alat untuk bersesuci titu sendiri ada beberapa macam diantaranya yaitu air, debu, batu, disamak. Melalui macam-macam alat bersesuci itu sendiri maka telah dijelaskan oleh ulama bahwasanya alat bersesuci air itu sendiri  terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu air thahhir muthahhir (air mutlak), air thahhir ghairu muthahhir, dan air mutanajjis. Namun di dalam kitab lain di jelaskan pula bahwa air itu terbagi menjadi empat bagian yaitu air thahhir muthahhir, air thahhir ghairu muthahhir, air mutanajjis, dan air musyammas.
Air thahhir muthahhir (air mutlak)yaitu setiap air yang turun dari langit ataupun keluar dari bumi yang mana keluarnya tersebut tetap seperti asal kejadiannya serta salah satu sifatnya air tidak berubah sebab ada sesuatu yang mencampurinya. (Mabaadiul Fiqh juz 4, Umar Abdul Jabbar : 3). Diantara macam-macam air thahhir muthahhir yaitu :
1.   Air hujan.
2.   Air laut.
3.   Air sungai.
4.   Air sumur.
5.   Air mata air (sumber).
6.   Air es (salju).
7.   Air embun.
Air thahhir ghairu muthahhir yaitu air yang suci namun air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci. Diantara contoh yang termasuk dalam kategori air thahhir ghairu muthahhir yaitu air kopi, air the, dan sebagainya, ataupun air hujan yang mana dalam air hujan itu dicampuri dengan air teh lalu salah satu sifat airnya berubah maka air itu sendiri juga bisa dikatakan air thahhir ghairu muthahhir. Yaitu air yang hukumnya suci dalam artian boleh diminum namun tidak  dapat digunakan untuk bersuci atau menghilangkan hadas.
Air mutanajjis yaitu setiap yang yang mana di dalam air tersebut kejatuhan (terkena) najis. Air semacam ini sama sekali tidak bisa digunakan untuk ber suci menghilangkan hadas) bukan hanya itu air yang semacam ini juga tidak boleh diminum dan semacamnya. Jika air itu sampai kepada dua qullah atau lebih maka jika ada najis yang jatuh ke dalamnya maka hukumnya di perinci lagi.
1.Jika najis yang jatuh ke dalamnya sampai merubah salah satu sifatnya air maka air itu dihukumi sebagai air yang mutanajjis atau air yang sudah tidak bisa lagi dipakai untuk bersuci.
2.Jika najis itu jatuh kedalamnya namun tidak sampai merubah salah satu sifatnya air maka air itu dihukumi suci. (Fathul Qorib, Muhammad bin Qosim Al-Ghazi : 3-4 ).
 Namun jika air itu tidak sampai 2 qullah maka air itu dihukumi sebagai air yang mutanajjis secara mutlak.
Air musyammas yaitu air yang kena sinar matahari sampai panas. (terjemah khulashah kifayatul akhyar, Moh. Rifa’I : 11). Air yang semacam ini dihukumi suci dikarenakan tidak terkena najis. Namun air ini dihukumi makruh untuk digunakan.  Dalam sutu riwayat diterangkan : “Nabi SAW. Melarang Aisyah menggunakan air musyammas, beliau bersabda : air itu bisa menimbulkan belang”. 
Air musta’mal yaitu : setiap air yang telah digunakan untuk bersuci. Air sejenis ini termasuk juga kedalam jenis air thahhir ghairu muthahhir. Yaitu air ini tetap dihukumi suci namun sudah tidak bisa digunakan untuk bersuci lagi.
B.     Wudu’
Wudu’ merupakan bagian dari pada thaharah. Dalam wudu’ ini memiliki beberapa rukun diantara rukun-rukun berwudu’ yaitu :
1.      Niat wudu’.
Yaitu berniat menunaikan kefarduan wudu’, menghilangkan hadas bagi orang yang selalu hadas, niat thaharah dari hadas atau thaharah untuk menunaikan semacam ibadah shalat.
2.      Membasuh kulit muka.
Batasan bujur muka yaitu antara tempat-tempat tumbuh rambut kepala yang wajar sampai bawah pertemuan dua rahang. Sedangkan batas lintang muka sendiri yaitu antara dua telinga.
3.      Membasuh dua tangan.
Yaitu dari telapak tangan sampai siku.
4.      Mengusap sebagian kepala.
5.      Membasuh kedua kaki.
6.      Tertib.
Yaitu sebagaimana yang disebuykan di atas, yaitu mendahulukan basuhan muka, kedua tangan, kepala, lalu kedua kaki. (Fathul Mu’in, Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari : 4-5).
C.    Mandi.
Mandi merupakan bagian dari pada thaharah. Sebagaimana wudu’ dan tayamum mandi juga terdapat rukun-rukunnya. Namun sebelum mengetahui rukun-rukunnya terlebih dahulu penulis akan mencoba menguraikan sebab-sebab diwajibkannya mandi. Diantara sebab-sebab diwajibkannya mandi yaitu :  haidh, nifas, wiladah (melahirkan), meninggal dunia, bersetebuh dengan catatan sampai bertemunya dua khitan, dan junub.
Sedangkan rukun-rukunnya mandi yaitu :
1.      Niat
2.      Menyampaikan air keseluruh bagian tubuh.
D. Siwak
Siwak adalah nama untuk dahan atau akar pohon yang digunakan untuk bersiwak. Oleh karena itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh kita gunakan untuk bersiwak jika memenuhi persyaratannya, yaitu :
·         Harus lembut, sehingga batang atau akar kayu yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gusi dan email gigi.
·         Bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak
·         Seratnya tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak sehingga bisa mengotori mulut. (syarhul mumti’ 1/118)
Sebagian ulama berpendapat tidaklah dikatakan bersiwak dengan sikat gigi adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi. Namun pendapat yang benar bahwasanya jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak maka boleh kita bersiwak dengan menggunakan sikat gigi biasa karena illah (sebab) disyariatkannya siwak adalah untuk membersihkan gigi. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah besiwak dengan jarinya ketika berwudhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
Beliau memasukkan jarinya (ke dalam mulutnya) ketika berwudlu dan menggerak-gerakkannya. (Hadits riwayat Ahmad dalam musnadnya 1/158.
Berkata Al-Hafizh dalam talkhis 1/70 setelah beliau membawakan hadits-hadits tentang siwak dengan jari yaitu dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu dan Aisyah dan selain keduanya :”Dan hadits yang paling shohih tentang siwak dengan jari adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Ali bin Abi Tolib Radhiyallahu ‘anhu”.) (Syarhul mumti’ 1/118-119)
Dan bersiwak dengan menggunakan akar atau dahan pohon adalah lebih baik dan lebih mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam karena memiliki faedah yang banyak dan bisa digunakan setiap saat serta bisa dibawa kemana-mana. Namun anehnya banyak kaum muslimin yang merasa tidak senang jika melihat orang yang bersiwak dengan akar atau dahan pohon, padahal tidak diragukan lagi akan kesunnahannya. Mereka memandang orang yang bersiwak dengan akar kayu dengan pandngan sinis atau pandangan mengejek. Apakah mereka membenci sunnah yang sering dilakukan dan dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahkan ketika akhir hayat beliau? Tidak cukup hanya dengan membenci, merekapun memberikan olok-olokan yang tidak layak sampai-sampai mereka mengatakan orang yang bersiwak adalah orang yang jorok.
Cara bersiwak
Hendaklah bersiwak dengan menggosok bagian kanan gigi, setelah itu bagian yang kiri. Hal ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِيْ شَاْنِهِ كُلِّهِ
Adalah menyenangkan Rosulullah untuk memulai dengan yang kanan ketika memakai sendal, menyisir rambut, ketika bersuci, dan dalam semua keadaan”.(Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)
Dan siwak ini juga termasuk darigolongan bersuci
Namun para ulama berselisih tentang mana yang lebih afdol, apakah memegang siwak dengan menggunakan tangan kanan atau dengan tangan kiri?.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang lebih afdol adalah dengan tangan kanan. Karena bersiwak adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan sunnah adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak layak dilaksanakan dengan yang kiri.
Sebagian ulama yang lain (diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) menganggap yang lebih afdol adalah dengan tangan kiri. Karena bersiwak adalah termasuk membersihkan kotoran sebagaimana beristinja’ dan beristijmar. Oleh karena itu lebih baik menggunakan tangan kiri.
Sebagian ulama yang lainnya (yaitu sebagian para ulama dari madzhab Maliki) memerinci. Jika niat bersiwak untuk membersihkan kotoran maka yang lebih afdol menggunakan tangan kiri, namun jika niatnya hanya sekedar melaksanakan sunnah (walaupun gigi dalam keadaan bersih-pent) seperti bersiwak ketika wudlu atau ketika akan sholat maka lebih baik menggunakan tangan kanan.
Namun tentang masalah ini perkaranya luas (bebas) karena tidak adanya dalil yang jelas yang menunjukan akan hal ini. (Syarhul mumti’ 1/126-127
Keutamaan siwak
Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan mendapatkan keridhoan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ (رواه أحمد)
Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rob”. (Hadits shohih riwayat Ahmad, irwaul golil no 66). (Syarhul mumti’ 1/120 dan taisir ‘alam 1/62)
Oleh karena itu Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda :
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَّلاَةٍ
Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat”. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)
Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Allah, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ أَكَلَ الثَّوْمَ أَوِ الْبَصَالَ أَوِ الْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا لإَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ بَنُوْ آدَمَ
Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam tergaanggu dengannya” (Taisir ‘alam 1/63)
E.  Najis, cara mensucikannya, serta macam-macamnya

1.        Najis mugallazah (tebal)
 yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali diantaranya hendaklah dibasuh dengan air yang dicampur tanah. Sabda Rasul Saw.:”Cara mencuci bejana seseorang dari kamu apabila dijilat anjing, hendaklah dibasuh tujuh kali, slah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.”(Riwayat Muslim)
2.   Najis mukhaffafah (ringan), misalnya kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Cara mencuci benda yang kena najis ini cukup dengan memercikan air ke benda tersebut meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak perempuan yang belum memakan makanan selain ASI. Cara mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir di atas benda yang kena najis,dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana mencuci kencing orang dewasa. Hadist Rasul Saw.:’Sesungguhnya Ummu Qais telah datang kepada Rasulullah Saw. Beserta bayi laki-lakinya yang belum makan makanan selain ASI. Sesampainya di depan Rasul Saw. Beliau dudukan anak itu dipangkuan beliau. Kemudian beliau dikencinginya, lalu beliau meminta air, lantas beliau percikan air itu pada kencing kanak-kanak tadi, tetapi beliau tidak membasuh kencing itu.(Riwayat Bukhari dan Muslim). Sabda Rasul Saw : “Kencing kanak-kanak perempuan dibasuh sedangkan kencing kanak-kanak laki-laki diperciki(Riwayat Tarmizi)
3.    Najis mutawassithah(pertengahan), najis yang lain dari pada yang lain darikedua najis di atas. Najis ini terbagi atas dua bagian:
a.    Najis hukmiyah, yaitu yang kita yakini adanya , tetapi tidak nyata zat, bau, rasa dan warnanya, hal ini seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air diatas benda yang kena najis itu.
b.    Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa dan baunya. Kecuali warna atau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara mencuci najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa , warna dan baunya.

Macam-macam najis
Diantara hal-hal yang najis adalah sebagai berikut:
1. Anjing
Anjing adalah hewan yang dihukumi najis. Sesuatu atau benda yang terjilat olehnya harus dicuci sebanyak tujuh kali, yang salah satunya adalah dengan menggunakan (dicampur) tanah. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abdullah bin Mughafal, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
Apabila ada anjing menjilati bejana salah seorang diantara kalian, maka hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali dengan air dan campurilah dengan tanah, untuk yang kedelapan kalinya. (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Sedangkan menurut apa yang diriwayatkan dari abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda :
"Apabila ada anjing yang meminum air dari dalam bejana salah seorang di antara kalian, mka hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali" (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud,dan Baihaqi)
2. Babi
Babi merupakan hewan yang tubuhnya secara keseluruhan adalah dihukumi najis, sebagaimana difirmankan Allah Azza wa Jalla :
"Diharamkan bagi kalian (makanan) bangkai, darah dan daging babi"
(Al-Maidah : 3)
3. Kotoran dan Kencing Hewan Yang Haram Dimakan Dagingnya
Setiap binatang yang tidak boleh (haram) dimakan dagingnya menurut syari'at Islam seperti Keledai dan bighal, maka semua yang keluar dari binatang-binatang tersebut adalah najis, baik kotoran maupun kencingnya. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah ra, dimana ia berkata :
"Nabi saw pernah buang air besar, lalu beliau menyuruhku membawakan tiga batu untuknya. Akan tetapi, aku hanya mendapatkan tiga batu saja. Selanjutnya aku mencari batu yang ketiga, namun tidak juga mendapatkannya. Lalu aku mengambil kotoran dan aku membawanya kepada beliau. Maka beliau hanya mengambil dua batu saja dan membuang kotoran tersebut seraya berkata: Ini adalah kotoran (tidak dapat dipergunakan untuk bersuci)." (HR. Bukhrari, Ibnu Majah dan Khuzaimah)
4. Khamer
Menurut Jumhur Ulama, khamer itu dihukumi najis. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT:
"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah, kesemuanya itu adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian mendapat keberuntungan."(Al-Maidah : 90)
5. Wadi
Wadi adalah cairan kental yang biasanya keluar setelah seseorang selesai buang air kecilnya (kencing). Wadi ini dihukumi najis dan harus disucikan seperti halnya kencing, akan tetapi tidak wajib mandi. Mengenai hal ini, Aisyah ra mengatakan:
"Wadi itu keluar setelah proses kencing selesai. Untuk itu hendaklah seorang muslim (muslimah) mencuci kemaluannya (setelah keluarnya wadi) dan berwudhu' serta tidak diharuskan untuk mandi." (HR. Ibnu Mundzir)
6. Madzi.
Madzi adalah cairan bening sedikit kental yang keluar dari saluran kencing ketika bercumbu / ketika nafsu syahwat mulai terangsang atau terkadang seseorang tidak merasakan akan proses keluarnya. Hal itu sama-sama dialami oleh laki-laki dan juga wanita, akan tetapi pada wanita jumlahnya lebih banyak. Menurut kesepakatan para ulama, madzi ini dihukumi najis. Apabila madzi ini mengenai badan, maka harus dibersihkan dan apabila mengenai pakaian, maka cukup hanya dengan menyiramkan air pada bagian yang terkena.
Dari Ali bin Abi Thalib ra, dia menceritakan,
"Aku ini seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi. Lalu aku suruh seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Nabi, karena aku malu, sebab puterinya adalah isteriku. Maka orang yang disuruh itupun bertanya dan beliau menjawab: Berwudhu'lah dan cuci kemaluanmu!" (HR. Bukhari dan lainnya)
7. Kencing dan Muntah Manusia
Menurut kesepakatan para ulama, keduanya adalah najis. Rasulullah saw dengan keras memperingatkan supaya menghindarinya, dimana beliau bersabda:
"Bersucilah dari kencing, karena pada umumnya adzab kubur itu didapat dari air kencing"
Akan tetapi, beliau memberikan keringanan pada kencing yang keluar dari kemaluan seorang bayi yang belum memakan makanan lain, selain hanya minum air susu ibunya. Sedang apabila telah memakan makanan yang lain, maka dalam hal ini wajib untuk dicuci, dimana tidak ada perbedaan perdapat dari para ulama mengenai masalah ini.
Adapun mengenai muntah manusia, apabila hanya sedikit maka hal itu dimaafkan (tidak najis).
8. Darah
Yang dimaksud dengan darah disini adalah darah haid, pendarahan yang dialami oleh seorang wanita yang tengah hamil, nifas maupun darah yang mengalir; misalnya darah yang mengalir dari hewan yang disembelih. Tapi apabila darah tersebut adalah sisa yang menempel pada urat/daging maka hal tersebut dimaafkan.
Aisyah ra berkata: "Kami pernah makan daging, sedang padanya masih terdapat darah yang menempel pada kuali."
Di dalam kitab Shahih Imam Al-Bukhari disebutkan:
"Bahwa orang-orang muslim pada permulaan datangnya Islam, mereka mengerjakan shalat dalam keadaan luka. Seperti Umar bin Khaththab yang mengerjakan shalat, sedang darah lukanya mengalir."
9. Mani
Mengenai mani, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yang mana sebagian dari mereka mengganggapnya najis. Yang jelas ia tetap suci menurut jumhur ulama’. Akan tetapi disunnatkan mencucinya apabila basah dan cukup menggaruknya, apabila dalam keadaan (telah) kering.
Ibnu Abbas ra dia bercerita:
"Rasulullah saw pernah ditanya tentang mani yag mengenai pakaian. Maka beliau menjawab: Mani itu sama dengan dahak dan ludah, dan cukup bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau kertas." (HR. Dauquthni, Baihaqi dan Tathawi)


10. Bangkai
Yang dimaksud bangkai disini adalah setiap hewan yang mati tanpa melalui proses penyembelihan yang disyariatkan oleh Islam dan juga potongan tubuh dari hewan yang dipotong atau terpotong dalam keadan masih hidup.
Allah SWT berfirman:
"Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai." (Al-Maidah : 3)
Dalam hadits yang disebutkan dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia menceritakan; Rasulullah saw bersabda: "Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup adalah bangkai." (HR Abu Dawud dan At-Tarmidzi)
Mengenai bangkai ini ada beberapa pengecualian, diantaranya:
Bangkai ikan dan belalang, keduanya termasuk suci. Hal itu sebagaimana disabdakan Rasulullah saw menganai laut yaitu:
 "Air laut itu suci dan mensucikan, bangkai hewannya pun halal untuk dimakan."
Bangkai yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti semut, lebah dan lainnya. Bangkai hewan-hewan jenis ini suci.
Tulang, tanduk dan bulu bangkai, yang kesemuanya itu adalah suci.
Hati dan Limpa (yang merupakan darah beku), hewan yang halal dimakan dan yang disembelih sesuai dengan syariat, sebagaiman yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, dimana ia menceritakan; Rasulullah pernah bersabda: "Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah segala jenis ikan yang hidup di air dan bangkai belalang. Sedangkan dua darah itu adalah hati dan limpa." (HR. Ahmad- Asy-Syafi'I, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan Daruquthni)
    Hadits ini berstatus dhaif, akan tetapi Imam Ahmad menshahihkan dan menyetujuinya.
F.    Hadas
Hadas ialah kekokotoran maknawi pada diri yang mencegah sahnya ibadah yang disyaratkan bersuci.seperti solat, tawaf dan sebagainya. Orang berhadas tidak bersih di sisi Allah sekalipun di sisi manusia kelihatan bersih. Kerana itu, orang yang berhadas wajib menyucikan dirinya mengikut cara yang ditetapkan Syara’ sebelum mengadap Allah melalui ibadah-ibadah tadi.
Berapa jenis hadas,danbagaimana cara menyucikannya.
Hadas ada dua jenis, iaitu;
1. Hadas kecil
2. Hadas besar
Cara menyucikan hadas kecil ialah dengan mengambil wudhuk. Adapun cara menyucikan hadas besar ialah dengan mandi. Jika kedua-duanya tidak dapat dilakukan kerana sakit, ketiadaan air atau sebagainya, hendaklah diganti dengan tayammum.
Kesimpulannya, cara menyucikan hadas yang ditetapkan oleh Syarak ada tiga, iaitu;
1. Wudhu; untuk menyucikan hadas kecil
2. Mandi; untuk menyucikan hadas besar
3. Tayammum; gantian kepada wudhu atau mandi.
Sebab-sebabhadasbesar
Apakah sebab terjadinya hadas besar?
Hadas besar terjadi kerana dua sebab;
1. Karena berjunub
Seorang itu dikatakan berjunub dengan dua sebab;
a.       Karena bersetubuh dengan pasangan (suami atau isteri) sama ada keluar mani atau tidak ketika persetubuhan itu. Semata-mata berlakunya   persetubuhan iaitu masuknya zakar kedalam faraj, maka dianggaplah seseorang itu berjunub sekalipun tidak keluar mani. Sabda Nabis.a.w.; “Apabila seseorang telah duduk di antara empat cabang perempuan (yakni dua tangan dan dua kaki/pahanya), kemudian khitan (kemaluan) telah menyentuh khitan (kemaluan), maka wajiblah mandi”. Dalam satu riwayat disebutkan; “…sekalipun tidak keluar mani”. (Riwayat Imam Muslim dari Saidatina ‘Aisyahr.a.).
b.      Keluar mani dari kemaluan sama ada dengan sengaja (seperti mengeluarkan dengan  tangan atau berkhayal) atau tidak sengaja (seperti bermimpi). Orang yang keluar mani dari kemaluannya ia dianggap berjunub dan wajib mandi berdalilkan sabda Nabis.a.w.; “Air (yakni mandi) adalah dari kerana air (yakni dari kerana keluar mani)” (Riwayat Imam Muslim dari Abu Sa’id al-Khudrir.a.). Ummu Salamah r.a.telah menceritakan; “Pernah Ummu Sulaim datang dan bertanya kepada Nabis.a.w.; ‘Adakah seorang perempuan wajib mandi jika ia bermimpi?’. JawabNabis.a.w.; ‘Ya, jika ia melihat air (yakni air mani)’’ (Riwayat Imam Bukhari dan Muslim).
2. Karena kedatangan haid dan nifas
Wanita yang kedatangan haid dan nifas adalah berhadas besar dan wajib mandi apabila kering darahnya sebelum ia diharuskan menunaikan solat dan bersetubuh dengan suaminya. Ini berdalilkan  ayat al-Quran (surah al-Baqarah, ayat 222) dan hadis dari Saidatina ‘Aisyahr.a. yang menceritakan; “Fatimah bin Hubaiyshr.a.menghadapi masalah istihadhah. Lalu Rasululah s.a.w. berkata kepadanya; ‘Biladatang haid, tinggallah solat dan apabila ia berlalu (yakni tempo haid kamu tamat), maka mandilah dan tunaikanlah solat” (Riwayat Imam al-Bukhari). Walaupun ayat dan hadis hanya menyebut tentang haid, namun dikiaskan kepadanya nifas kerana nifas adalah haid yang berkumpul.Telah ijmak para ulama bahawa wanita yang nifas adalah umpama wanita yang haid dalam segenap hukum-hakamnya.













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
“Thaharah adalah mengerjakan sesuatu, yang mana ibadah shalat tidak akan sah tanpa melaksanakan hal tersebut”. alat untuk bersesuci titu sendiri ada beberapa macam diantaranya yaitu air, debu, batu, disamak. Melalui macam-macam alat bersesuci itu sendiri maka telah dijelaskan oleh ulama bahwasanya alat bersesuci air itu sendiri  terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu air thahhir muthahhir (air mutlak), air thahhir ghairu muthahhir, dan air mutanajjis. Namun di dalam kitab lain di jelaskan pula bahwa air itu terbagi menjadi empat bagian yaitu air thahhir muthahhir, air thahhir ghairu muthahhir, air mutanajjis, dan air musyammas.
Wudu’ merupakan bagian dari pada thaharah. Dalam wudu’ ini memiliki beberapa rukun diantara rukun-rukun berwudu’ yaitu :
1.   Niat wudu’.
Yaitu berniat menunaikan kefarduan wudu’, menghilangkan hadas bagi orang yang selalu hadas, niat thaharah dari hadas atau thaharah untuk menunaikan semacam ibadah shalat.
2.  Membasuh kulit muka.
Batasan bujur muka yaitu antara tempat-tempat tumbuh rambut kepala yang wajar sampai bawah pertemuan dua rahang. Sedangkan batas lintang muka sendiri yaitu antara dua telinga.
2.        Membasuh dua tangan.
Yaitu dari telapak tangan sampai siku.
4.   Mengusap sebagian kepala.
5.   Membasuh kedua kaki.
6.   Tertib.
Yaitu sebagaimana yang disebutkan di atas, yaitu mendahulukan basuhan muka, kedua tangan, kepala, lalu kedua kaki.
Mandi merupakan bagian dari pada thaharah.
Diantara sebab-sebab diwajibkannya mandi yaitu :  haidh, nifas, wiladah (melahirkan), meninggal dunia, bersetebuh dengan catatan sampai bertemunya dua khitan, dan junub.
Sedangkan rukun-rukunnya mandi yaitu :
1. Niat
2. Menyampaikan air keseluruh bagian tubuh.


DAFTAR PUSTAKA

Rifa’I, Moh, Terjemah Khulashah Kifayatul Awam, Semarang : CV. Toha putra, 1978
Umar Abdul jabbar, Mabaadiul Fiqh Juz Tsalits (3), Surabaya : Sumber Ilmu
Umar Abdul jabbar, Mabaadiul Fiqh Juz Rabi’ (4), Surabaya : Sumber Ilmu
Sayyid Abdurrahman, Duruusul Fiqh : Salim Ibn Nabhan
Salim bin Sumair al-hadhrami, Kaasyifatus Sajaa, Surabaya : Nurul Huda
Muhammad bin Qosim Al-Ghazi, Fathul Qorib, Surabaya : Nurul Huda
Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari, Fathul Mu’iin, Surabaya : Nurul Huda


No comments:

Post a Comment