THOHAROH
MACAM-MACAM
THOHAROH, SIWAK DAN HUKUMNYA
MACAM-MACAM
NAJIS DAN CARA MENSUCIKANYA
HADATS BESAR,
KECIL DAN CARA MENSUCIKANYA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen :H. M. Idris
Hasan. Lc.Ph.D
Kelompok 1
Kelas 3B
Disusun oleh :
Banatus sholihah
Hayatul fikri
Rifki zakiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN TSAURI (STAIS)
JL. KH. SUYAN TSAURI PO. BOX 18 CIBEUNYING
TELP. (0280)623562 MAJENANG 53257
TAHUN AKADEMIK 2015 / 2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang
telah mencurahkan Rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang di berikan oleh dosen pembimbing dalam mata kuliah Fiqih. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada pemimpin paling mulia, manusia
yang paling baik akhlaknya yaitu Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para
sahabat serta pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Amin
Makalah ini berjudul “Thaharah” yang
nantinya akan memberikan pemahaman kepada pembaca tentang hal-hal yang
berkaitan dengan thaharah. . Mungkin penulis tidak bisa membuat makalah
ini sesempurna mungkin. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis
harapkan dari para pembaca. Khususnya dari dosen yang telah membimbing penulis
dalam mata kuliah ini.
Ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada dosen pembimbing saya yang telah memberikan arahan dan juga
kepada orang-orang di sekitar saya yang telah membantu saya dalam menyelesaikan
makalah ini.
Karangpucung 21 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…….……………………………………………………... 2
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. 2
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................
4
A. Latar Belakang………….………………………………………….
4
B. Rumusan Masalah………………………………………………..... 4
BAB
II PEMBAHASAN…………………….……………………………….... 5
A.
Makna
Thaharah.....………………………………………………. 5
B.
Wudu.……………………………………………………………... 6
C. Mandi…..…………………………………………………………...7
D. Siwak……………………………………………………………….7
E. Najis………………………………………………………………..10
F. Hadats……………………………………………………………...15
BAB III PENUTUP……………………. ………………………………………. 18
Kesimpulan……………………………………………………………..18
DAFTAR
PUSTAKA ………………………………………................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam berbagai macam kitab yang
menjelaskan tentang fiqih selalu saja bab thaharah berada pada bab yang
paling awal atau paling utama. Hal itu terjadi dikarenakan thaharah
adalah bagian yang paling penting dipelajari. Melaksanakan shalat tanpa thaharah
maka tentu saja shalat yang dikerjakan tidak sah. Dalam artian jika ada
seseorang yang mengerjakan shalat tanpa bersesuci terlebih dahulu maka shalat
yang ia kerjakan itu sia-sia. karena pada dasarnya islam memang mewajibkan
setiap orang yang ingin melaksanakan shlat itu harus suci.
Firman Allah Swt
ان الله يحب التوابين ويحب المتطهرين .
(البقرة : 122)
Artinya : sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci. (Al-Baqarah : 122).
Mungkin masih banyak dikalangan
orang awam yang tidak tahu persis tentang pentingnya thaharah. Namun
tidak bisa dipungkiri juga bahsanya juga ada orang yang tahu akan thaharah
namun mengabaikannya. maka dari pada itu penulis akan mencoba sedikit
menjelaskan apa-apa yang penulis ketahui tentang thahara. Mudah-mudahan
saja melalui makalah ini umat islam sadar akan pentingnya thaharah dan
tidak mengabaikan pentingnya thaharah kembali.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa makna
dari thaharah ?
2.
Apa saja
bagian-bagian dari thaharah ?
3. Ada berapa pembagian air dan jelaskan ?
4. Apa pentingnya thaharah ?
5. Ada berapapembagiannaijis?
6.
Apadefinisidarihadasdanberapapembagianya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna
Thaharah
“Thaharah adalah mengerjakan
sesuatu, yang mana ibadah shalat tidak akan sah tanpa melaksanakan hal
tersebut”. (mabaadiul Fiqh juz 3, Umar Abdul Jabbar : 8). Yang dimaksud
mengerjakan sesuatu di atas yaitu bersesuci. Yang mana bersesu-ci ini terbagi
ke dalam dua bagian lagi. Yang pertama yaitu bersuci dari hadas dan yang
kediua bersesuci dari kotoran atau najis. Yang dimasud bersuci dari hadas itu
sendiri yaitu berwudu’, mandi besar, dan juga tayamum sebagai pengganti dari wu-du’.
Sedangkan yang dimaksud dari bersuci dari kotoran ataupun najis itu
sendiri yaitu istinja’, dan menghilangkan najis dari badan, pakaian dan
tempat.
Sedangakan alat untuk bersesuci titu
sendiri ada beberapa macam diantaranya yaitu air, debu, batu, disamak. Melalui
macam-macam alat bersesuci itu sendiri maka telah dijelaskan oleh ulama
bahwasanya alat bersesuci air itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian.
Yaitu air thahhir muthahhir (air mutlak), air thahhir ghairu
muthahhir, dan air mutanajjis. Namun di dalam kitab lain di jelaskan
pula bahwa air itu terbagi menjadi empat bagian yaitu air thahhir muthahhir,
air thahhir ghairu muthahhir, air mutanajjis, dan air
musyammas.
Air thahhir muthahhir (air
mutlak)yaitu setiap air yang turun dari langit ataupun keluar dari bumi yang
mana keluarnya tersebut tetap seperti asal kejadiannya serta salah satu
sifatnya air tidak berubah sebab ada sesuatu yang mencampurinya. (Mabaadiul
Fiqh juz 4, Umar Abdul Jabbar : 3). Diantara macam-macam air thahhir
muthahhir yaitu :
1.
Air hujan.
2.
Air laut.
3.
Air sungai.
4.
Air sumur.
5.
Air mata air
(sumber).
6.
Air es
(salju).
7.
Air embun.
Air thahhir ghairu muthahhir yaitu air
yang suci namun air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci. Diantara
contoh yang termasuk dalam kategori air thahhir ghairu muthahhir yaitu air
kopi, air the, dan sebagainya, ataupun air hujan yang mana dalam air hujan itu
dicampuri dengan air teh lalu salah satu sifat airnya berubah maka air itu
sendiri juga bisa dikatakan air thahhir ghairu muthahhir. Yaitu air yang
hukumnya suci dalam artian boleh diminum namun tidak dapat digunakan
untuk bersuci atau menghilangkan hadas.
Air mutanajjis yaitu setiap
yang yang mana di dalam air tersebut kejatuhan (terkena) najis. Air semacam ini
sama sekali tidak bisa digunakan untuk ber suci menghilangkan hadas) bukan
hanya itu air yang semacam ini juga tidak boleh diminum dan semacamnya. Jika
air itu sampai kepada dua qullah atau lebih maka jika ada najis yang
jatuh ke dalamnya maka hukumnya di perinci lagi.
1.Jika najis yang jatuh ke dalamnya
sampai merubah salah satu sifatnya air maka air itu dihukumi sebagai air yang
mutanajjis atau air yang sudah tidak bisa lagi dipakai untuk bersuci.
2.Jika najis itu jatuh kedalamnya
namun tidak sampai merubah salah satu sifatnya air maka air itu dihukumi suci.
(Fathul Qorib, Muhammad bin Qosim Al-Ghazi : 3-4 ).
Namun
jika air itu tidak sampai 2 qullah maka air itu dihukumi sebagai air
yang mutanajjis secara mutlak.
Air musyammas yaitu air yang
kena sinar matahari sampai panas. (terjemah khulashah kifayatul akhyar, Moh.
Rifa’I : 11). Air yang semacam ini dihukumi suci dikarenakan tidak terkena
najis. Namun air ini dihukumi makruh untuk digunakan. Dalam sutu riwayat
diterangkan : “Nabi SAW. Melarang Aisyah menggunakan air musyammas,
beliau bersabda : air itu bisa menimbulkan belang”.
Air musta’mal yaitu : setiap
air yang telah digunakan untuk bersuci. Air sejenis ini termasuk juga kedalam
jenis air thahhir ghairu muthahhir. Yaitu air ini tetap dihukumi suci namun
sudah tidak bisa digunakan untuk bersuci lagi.
B.
Wudu’
Wudu’ merupakan bagian dari pada
thaharah. Dalam wudu’ ini memiliki beberapa rukun diantara rukun-rukun berwudu’
yaitu :
1.
Niat wudu’.
Yaitu
berniat menunaikan kefarduan wudu’, menghilangkan hadas bagi orang yang selalu
hadas, niat thaharah dari hadas atau thaharah untuk menunaikan semacam ibadah
shalat.
2.
Membasuh
kulit muka.
Batasan
bujur muka yaitu antara tempat-tempat tumbuh rambut kepala yang wajar sampai
bawah pertemuan dua rahang. Sedangkan batas lintang muka sendiri yaitu antara
dua telinga.
3.
Membasuh dua
tangan.
Yaitu dari
telapak tangan sampai siku.
4.
Mengusap sebagian
kepala.
5.
Membasuh
kedua kaki.
6.
Tertib.
Yaitu
sebagaimana yang disebuykan di atas, yaitu mendahulukan basuhan muka, kedua
tangan, kepala, lalu kedua kaki. (Fathul Mu’in, Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz
Al-Malibari : 4-5).
C.
Mandi.
Mandi
merupakan bagian dari pada thaharah. Sebagaimana wudu’ dan tayamum
mandi juga terdapat rukun-rukunnya. Namun sebelum mengetahui rukun-rukunnya
terlebih dahulu penulis akan mencoba menguraikan sebab-sebab diwajibkannya
mandi. Diantara sebab-sebab diwajibkannya mandi yaitu : haidh, nifas,
wiladah (melahirkan), meninggal dunia, bersetebuh dengan catatan sampai
bertemunya dua khitan, dan junub.
Sedangkan
rukun-rukunnya mandi yaitu :
1.
Niat
2.
Menyampaikan
air keseluruh bagian tubuh.
D. Siwak
Siwak
adalah nama untuk dahan atau akar pohon yang digunakan untuk bersiwak. Oleh
karena itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh kita gunakan untuk
bersiwak jika memenuhi persyaratannya, yaitu :
·
Harus lembut, sehingga batang atau akar kayu
yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gusi dan
email gigi.
·
Bisa membersihkan dan berserat serta bersifat
basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan
untuk bersiwak
·
Seratnya tersebut tidak berjatuhan ketika
digunakan untuk bersiwak sehingga bisa mengotori mulut. (syarhul mumti’ 1/118)
Sebagian
ulama berpendapat tidaklah dikatakan bersiwak dengan sikat gigi adalah sunnah
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki
banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi. Namun pendapat yang benar bahwasanya
jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak maka boleh kita
bersiwak dengan menggunakan sikat gigi biasa karena illah (sebab)
disyariatkannya siwak adalah untuk membersihkan gigi. Bahkan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam pernah besiwak dengan jarinya ketika berwudhu,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam
Beliau memasukkan jarinya (ke dalam mulutnya)
ketika berwudlu dan menggerak-gerakkannya. (Hadits riwayat Ahmad dalam
musnadnya 1/158.
Berkata
Al-Hafizh dalam talkhis 1/70 setelah beliau membawakan hadits-hadits tentang
siwak dengan jari yaitu dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu dan Aisyah dan selain
keduanya :”Dan hadits yang paling shohih tentang siwak dengan jari adalah
hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Ali bin Abi
Tolib Radhiyallahu
‘anhu”.) (Syarhul mumti’ 1/118-119)
Dan
bersiwak dengan menggunakan akar atau dahan pohon adalah lebih baik dan lebih
mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam karena
memiliki faedah yang banyak dan bisa digunakan setiap saat serta bisa dibawa
kemana-mana. Namun anehnya banyak kaum muslimin yang merasa tidak senang jika
melihat orang yang bersiwak dengan akar atau dahan pohon, padahal tidak
diragukan lagi akan kesunnahannya. Mereka memandang orang yang bersiwak dengan
akar kayu dengan pandngan sinis atau pandangan mengejek. Apakah mereka membenci
sunnah yang sering dilakukan dan dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bahkan
ketika akhir hayat beliau? Tidak cukup hanya dengan membenci, merekapun
memberikan olok-olokan yang tidak layak sampai-sampai mereka mengatakan orang
yang bersiwak adalah orang yang jorok.
Cara bersiwak
Hendaklah
bersiwak dengan menggosok bagian kanan gigi, setelah itu bagian yang kiri. Hal
ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah :
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ
وَطُهُوْرِهِ وَفِيْ شَاْنِهِ كُلِّهِ
“Adalah menyenangkan Rosulullah untuk memulai
dengan yang kanan ketika memakai sendal, menyisir rambut, ketika bersuci, dan
dalam semua keadaan”.(Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)
Dan
siwak ini juga termasuk darigolongan bersuci
Namun para ulama berselisih tentang mana yang
lebih afdol, apakah memegang siwak dengan menggunakan tangan kanan atau dengan
tangan kiri?.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa yang lebih afdol adalah dengan tangan kanan. Karena
bersiwak adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan
sunnah adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak layak
dilaksanakan dengan yang kiri.
Sebagian
ulama yang lain (diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) menganggap yang
lebih afdol adalah dengan tangan kiri. Karena bersiwak adalah termasuk
membersihkan kotoran sebagaimana beristinja’ dan beristijmar. Oleh karena itu
lebih baik menggunakan tangan kiri.
Sebagian
ulama yang lainnya (yaitu sebagian para ulama dari madzhab Maliki) memerinci.
Jika niat bersiwak untuk membersihkan kotoran maka yang lebih afdol menggunakan
tangan kiri, namun jika niatnya hanya sekedar melaksanakan sunnah (walaupun
gigi dalam keadaan bersih-pent) seperti bersiwak ketika wudlu atau ketika akan
sholat maka lebih baik menggunakan tangan kanan.
Namun tentang masalah ini perkaranya luas
(bebas) karena tidak adanya dalil yang jelas yang menunjukan akan hal ini.
(Syarhul mumti’ 1/126-127
Keutamaan siwak
Termasuk
sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang
ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa
kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan
lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam dan mendapatkan keridhoan dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
السِّوَاكَ
مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ (رواه أحمد)
“Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan
keridhoan bagi Rob”. (Hadits shohih riwayat Ahmad, irwaul golil no
66). (Syarhul mumti’ 1/120 dan taisir ‘alam 1/62)
Oleh karena itu Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin
agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda
:
لَوْلاَ
أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka
akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu. (Hadits
riwayat Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)
لَوْلاَ
أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَّلاَةٍ
“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka
akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat”.
(Hadits riwayat Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)
Ibnu
Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan
sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar
dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Allah, kita senantiasa dalam
keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya
ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan
dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata
Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya
adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir Radhiyallahu
‘anhu:
مَنْ
أَكَلَ الثَّوْمَ أَوِ الْبَصَالَ أَوِ الْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
لإَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ بَنُوْ آدَمَ
“Barang siapa yang makan bawang putih atau
bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami.
Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam tergaanggu
dengannya” (Taisir ‘alam 1/63)
E. Najis, cara mensucikannya, serta
macam-macamnya
1.
Najis
mugallazah (tebal)
yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis
ini hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali diantaranya hendaklah dibasuh
dengan air yang dicampur tanah. Sabda Rasul Saw.:”Cara mencuci bejana seseorang
dari kamu apabila dijilat anjing, hendaklah dibasuh tujuh kali, slah satunya
hendaklah dicampur dengan tanah.”(Riwayat Muslim)
2. Najis mukhaffafah (ringan), misalnya kencing
anak laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Cara mencuci benda
yang kena najis ini cukup dengan memercikan air ke benda tersebut meskipun
tidak mengalir. Adapun kencing anak perempuan yang belum memakan makanan selain
ASI. Cara mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir di atas benda yang
kena najis,dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana mencuci kencing
orang dewasa. Hadist Rasul Saw.:’Sesungguhnya Ummu Qais telah datang kepada
Rasulullah Saw. Beserta bayi laki-lakinya yang belum makan makanan selain ASI.
Sesampainya di depan Rasul Saw. Beliau dudukan anak itu dipangkuan beliau.
Kemudian beliau dikencinginya, lalu beliau meminta air, lantas beliau percikan
air itu pada kencing kanak-kanak tadi, tetapi beliau tidak membasuh kencing
itu.(Riwayat Bukhari dan Muslim). Sabda Rasul Saw : “Kencing kanak-kanak
perempuan dibasuh sedangkan kencing kanak-kanak laki-laki diperciki(Riwayat
Tarmizi)
3. Najis mutawassithah(pertengahan), najis
yang lain dari pada yang lain darikedua najis di atas. Najis ini terbagi atas
dua bagian:
a. Najis hukmiyah, yaitu yang kita yakini
adanya , tetapi tidak nyata zat, bau, rasa dan warnanya, hal ini seperti
kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara
mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air diatas benda yang kena najis
itu.
b. Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat,
warna, rasa dan baunya. Kecuali warna atau bau yang sangat sukar
menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara mencuci najis ini hendaklah dengan
menghilangkan zat, rasa , warna dan baunya.
Macam-macam najis
Diantara
hal-hal yang najis adalah sebagai berikut:
1.
Anjing
Anjing adalah
hewan yang dihukumi najis. Sesuatu atau benda yang terjilat olehnya harus
dicuci sebanyak tujuh kali, yang salah satunya adalah dengan menggunakan
(dicampur) tanah. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abdullah bin Mughafal,
bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
Apabila ada
anjing menjilati bejana salah seorang diantara kalian, maka hendaklah ia
mencucinya sebanyak tujuh kali dengan air dan campurilah dengan tanah, untuk
yang kedelapan kalinya. (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Sedangkan
menurut apa yang diriwayatkan dari abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah
saw telah bersabda :
"Apabila
ada anjing yang meminum air dari dalam bejana salah seorang di antara kalian,
mka hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali" (HR. Muslim, Ahmad, Abu
Dawud,dan Baihaqi)
2. Babi
Babi merupakan
hewan yang tubuhnya secara keseluruhan adalah dihukumi najis, sebagaimana
difirmankan Allah Azza wa Jalla :
"Diharamkan
bagi kalian (makanan) bangkai, darah dan daging babi"
(Al-Maidah : 3)
3. Kotoran dan
Kencing Hewan Yang Haram Dimakan Dagingnya
Setiap binatang
yang tidak boleh (haram) dimakan dagingnya menurut syari'at Islam seperti
Keledai dan bighal, maka semua yang keluar dari binatang-binatang tersebut
adalah najis, baik kotoran maupun kencingnya. Hal ini didasarkan pada hadits
dari Abu Hurairah ra, dimana ia berkata :
"Nabi saw
pernah buang air besar, lalu beliau menyuruhku membawakan tiga batu untuknya.
Akan tetapi, aku hanya mendapatkan tiga batu saja. Selanjutnya aku mencari batu
yang ketiga, namun tidak juga mendapatkannya. Lalu aku mengambil kotoran dan
aku membawanya kepada beliau. Maka beliau hanya mengambil dua batu saja dan
membuang kotoran tersebut seraya berkata: Ini adalah kotoran (tidak dapat
dipergunakan untuk bersuci)." (HR. Bukhrari, Ibnu Majah dan Khuzaimah)
4. Khamer
Menurut Jumhur
Ulama, khamer itu dihukumi najis. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah
SWT:
"Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, (berkurban
untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah, kesemuanya itu adalah perbuatan
keji yang termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu,
agar kalian mendapat keberuntungan."(Al-Maidah : 90)
5. Wadi
Wadi adalah
cairan kental yang biasanya keluar setelah seseorang selesai buang air kecilnya
(kencing). Wadi ini dihukumi najis dan harus disucikan seperti halnya kencing,
akan tetapi tidak wajib mandi. Mengenai hal ini, Aisyah ra mengatakan:
"Wadi itu
keluar setelah proses kencing selesai. Untuk itu hendaklah seorang muslim
(muslimah) mencuci kemaluannya (setelah keluarnya wadi) dan berwudhu' serta
tidak diharuskan untuk mandi." (HR. Ibnu Mundzir)
6. Madzi.
Madzi adalah
cairan bening sedikit kental yang keluar dari saluran kencing ketika bercumbu /
ketika nafsu syahwat mulai terangsang atau terkadang seseorang tidak merasakan
akan proses keluarnya. Hal itu sama-sama dialami oleh laki-laki dan juga
wanita, akan tetapi pada wanita jumlahnya lebih banyak. Menurut kesepakatan
para ulama, madzi ini dihukumi najis. Apabila madzi ini mengenai badan, maka
harus dibersihkan dan apabila mengenai pakaian, maka cukup hanya dengan
menyiramkan air pada bagian yang terkena.
Dari Ali bin
Abi Thalib ra, dia menceritakan,
"Aku ini
seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi. Lalu aku suruh seseorang
untuk menanyakan hal itu kepada Nabi, karena aku malu, sebab puterinya adalah
isteriku. Maka orang yang disuruh itupun bertanya dan beliau menjawab:
Berwudhu'lah dan cuci kemaluanmu!" (HR. Bukhari dan lainnya)
7. Kencing dan
Muntah Manusia
Menurut
kesepakatan para ulama, keduanya adalah najis. Rasulullah saw dengan keras
memperingatkan supaya menghindarinya, dimana beliau bersabda:
"Bersucilah
dari kencing, karena pada umumnya adzab kubur itu didapat dari air
kencing"
Akan tetapi,
beliau memberikan keringanan pada kencing yang keluar dari kemaluan seorang
bayi yang belum memakan makanan lain, selain hanya minum air susu ibunya.
Sedang apabila telah memakan makanan yang lain, maka dalam hal ini wajib untuk
dicuci, dimana tidak ada perbedaan perdapat dari para ulama mengenai masalah
ini.
Adapun mengenai
muntah manusia, apabila hanya sedikit maka hal itu dimaafkan (tidak najis).
8. Darah
Yang dimaksud
dengan darah disini adalah darah haid, pendarahan yang dialami oleh seorang
wanita yang tengah hamil, nifas maupun darah yang mengalir; misalnya darah yang
mengalir dari hewan yang disembelih. Tapi apabila darah tersebut adalah sisa
yang menempel pada urat/daging maka hal tersebut dimaafkan.
Aisyah ra
berkata: "Kami pernah makan daging, sedang padanya masih terdapat darah
yang menempel pada kuali."
Di dalam kitab
Shahih Imam Al-Bukhari disebutkan:
"Bahwa
orang-orang muslim pada permulaan datangnya Islam, mereka mengerjakan shalat
dalam keadaan luka. Seperti Umar bin Khaththab yang mengerjakan shalat, sedang
darah lukanya mengalir."
9. Mani
Mengenai mani,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yang mana sebagian dari mereka
mengganggapnya najis. Yang jelas ia tetap suci menurut jumhur ulama’. Akan
tetapi disunnatkan mencucinya apabila basah dan cukup menggaruknya, apabila
dalam keadaan (telah) kering.
Ibnu Abbas ra dia
bercerita:
"Rasulullah
saw pernah ditanya tentang mani yag mengenai pakaian. Maka beliau menjawab:
Mani itu sama dengan dahak dan ludah, dan cukup bagimu menghapusnya dengan
secarik kain atau kertas." (HR. Dauquthni, Baihaqi dan Tathawi)
10. Bangkai
Yang dimaksud
bangkai disini adalah setiap hewan yang mati tanpa melalui proses penyembelihan
yang disyariatkan oleh Islam dan juga potongan tubuh dari hewan yang dipotong
atau terpotong dalam keadan masih hidup.
Allah SWT
berfirman:
"Diharamkan
bagi kalian (memakan) bangkai." (Al-Maidah : 3)
Dalam hadits
yang disebutkan dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia menceritakan; Rasulullah saw
bersabda: "Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup adalah
bangkai." (HR Abu Dawud dan At-Tarmidzi)
Mengenai
bangkai ini ada beberapa pengecualian, diantaranya:
Bangkai ikan
dan belalang, keduanya termasuk suci. Hal itu sebagaimana disabdakan Rasulullah
saw menganai laut yaitu:
"Air laut itu suci dan mensucikan,
bangkai hewannya pun halal untuk dimakan."
Bangkai yang
tidak memiliki darah yang mengalir seperti semut, lebah dan lainnya. Bangkai
hewan-hewan jenis ini suci.
Tulang, tanduk
dan bulu bangkai, yang kesemuanya itu adalah suci.
Hati dan Limpa
(yang merupakan darah beku), hewan yang halal dimakan dan yang disembelih sesuai
dengan syariat, sebagaiman yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Umar ra, dimana ia menceritakan; Rasulullah pernah bersabda:
"Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah
segala jenis ikan yang hidup di air dan bangkai belalang. Sedangkan dua darah
itu adalah hati dan limpa." (HR. Ahmad- Asy-Syafi'I, Ibnu Majah,
Al-Baihaqi dan Daruquthni)
Hadits ini berstatus dhaif, akan tetapi
Imam Ahmad menshahihkan dan menyetujuinya.
F. Hadas
Hadas ialah kekokotoran
maknawi pada diri yang mencegah sahnya
ibadah yang disyaratkan bersuci.seperti solat, tawaf
dan sebagainya. Orang berhadas tidak bersih di sisi Allah sekalipun di sisi
manusia kelihatan bersih. Kerana itu, orang yang berhadas wajib menyucikan dirinya
mengikut cara yang ditetapkan Syara’ sebelum mengadap Allah melalui
ibadah-ibadah tadi.
Berapa jenis
hadas,danbagaimana cara menyucikannya.
Hadas ada dua
jenis, iaitu;
1. Hadas kecil
2. Hadas besar
Cara menyucikan
hadas kecil ialah dengan mengambil wudhuk. Adapun cara menyucikan hadas besar
ialah dengan mandi. Jika kedua-duanya tidak dapat dilakukan kerana sakit,
ketiadaan air atau sebagainya, hendaklah diganti dengan tayammum.
Kesimpulannya,
cara menyucikan hadas yang ditetapkan oleh Syarak ada tiga, iaitu;
1. Wudhu; untuk
menyucikan hadas kecil
2. Mandi; untuk
menyucikan hadas besar
3. Tayammum;
gantian kepada wudhu atau mandi.
Sebab-sebabhadasbesar
Apakah sebab terjadinya hadas besar?
Hadas besar terjadi kerana dua sebab;
1. Karena berjunub
Seorang itu dikatakan berjunub dengan dua sebab;
a. Karena bersetubuh dengan pasangan (suami atau isteri) sama ada keluar mani atau tidak ketika persetubuhan itu.
Semata-mata berlakunya persetubuhan iaitu masuknya zakar kedalam faraj, maka dianggaplah seseorang itu berjunub sekalipun tidak keluar mani. Sabda Nabis.a.w.; “Apabila seseorang telah duduk
di antara empat cabang perempuan (yakni dua tangan dan dua
kaki/pahanya), kemudian khitan (kemaluan) telah menyentuh khitan
(kemaluan), maka wajiblah mandi”. Dalam satu riwayat disebutkan; “…sekalipun tidak keluar mani”.
(Riwayat Imam Muslim dari Saidatina ‘Aisyahr.a.).
b. Keluar mani dari kemaluan sama ada dengan sengaja (seperti mengeluarkan dengan tangan atau berkhayal) atau tidak sengaja
(seperti bermimpi).
Orang yang keluar mani dari kemaluannya ia dianggap berjunub dan wajib mandi berdalilkan sabda Nabis.a.w.; “Air (yakni mandi)
adalah dari kerana air
(yakni dari kerana keluar mani)”
(Riwayat Imam Muslim dari Abu Sa’id al-Khudrir.a.). Ummu Salamah r.a.telah menceritakan;
“Pernah Ummu Sulaim datang dan bertanya kepada Nabis.a.w.; ‘Adakah seorang perempuan wajib mandi jika ia bermimpi?’.
JawabNabis.a.w.; ‘Ya, jika ia melihat air (yakni air mani)’’ (Riwayat
Imam Bukhari dan Muslim).
2. Karena kedatangan haid dan nifas
Wanita yang
kedatangan haid dan nifas adalah berhadas besar dan wajib mandi apabila kering darahnya sebelum ia diharuskan menunaikan solat dan bersetubuh dengan suaminya. Ini berdalilkan ayat al-Quran (surah al-Baqarah, ayat 222) dan hadis dari Saidatina
‘Aisyahr.a. yang menceritakan; “Fatimah bin Hubaiyshr.a.menghadapi masalah istihadhah.
Lalu Rasululah s.a.w.
berkata kepadanya;
‘Biladatang haid, tinggallah solat dan apabila ia berlalu (yakni tempo haid kamu tamat), maka mandilah dan tunaikanlah solat”
(Riwayat Imam al-Bukhari). Walaupun ayat dan hadis hanya menyebut tentang haid, namun dikiaskan kepadanya nifas kerana nifas adalah haid yang
berkumpul.Telah ijmak para ulama bahawa wanita yang
nifas adalah umpama wanita yang
haid dalam segenap hukum-hakamnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
“Thaharah
adalah mengerjakan sesuatu, yang mana ibadah shalat tidak akan sah tanpa
melaksanakan hal tersebut”. alat untuk bersesuci titu sendiri ada beberapa
macam diantaranya yaitu air, debu, batu, disamak. Melalui macam-macam alat
bersesuci itu sendiri maka telah dijelaskan oleh ulama bahwasanya alat
bersesuci air itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu air thahhir
muthahhir (air mutlak), air thahhir ghairu muthahhir, dan air mutanajjis.
Namun di dalam kitab lain di jelaskan pula bahwa air itu terbagi menjadi empat
bagian yaitu air thahhir muthahhir, air thahhir ghairu muthahhir,
air mutanajjis, dan air musyammas.
Wudu’
merupakan bagian dari pada thaharah. Dalam wudu’ ini memiliki beberapa rukun
diantara rukun-rukun berwudu’ yaitu :
1.
Niat wudu’.
Yaitu berniat menunaikan kefarduan
wudu’, menghilangkan hadas bagi orang yang selalu hadas, niat thaharah dari
hadas atau thaharah untuk menunaikan semacam ibadah shalat.
2. Membasuh kulit muka.
Batasan bujur muka yaitu antara tempat-tempat tumbuh
rambut kepala yang wajar sampai bawah pertemuan dua rahang. Sedangkan batas
lintang muka sendiri yaitu antara dua telinga.
2.
Membasuh dua tangan.
Yaitu dari
telapak tangan sampai siku.
4.
Mengusap
sebagian kepala.
5.
Membasuh
kedua kaki.
6.
Tertib.
Yaitu sebagaimana yang disebutkan di
atas, yaitu mendahulukan basuhan muka, kedua tangan, kepala, lalu kedua kaki.
Mandi merupakan bagian dari pada thaharah.
Diantara sebab-sebab diwajibkannya mandi yaitu :
haidh, nifas, wiladah (melahirkan), meninggal dunia,
bersetebuh dengan catatan sampai bertemunya dua khitan, dan junub.
Sedangkan
rukun-rukunnya mandi yaitu :
1. Niat
2. Menyampaikan air keseluruh bagian tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’I, Moh, Terjemah Khulashah Kifayatul Awam,
Semarang : CV. Toha putra, 1978
Umar Abdul jabbar, Mabaadiul Fiqh Juz Tsalits (3),
Surabaya : Sumber Ilmu
Umar Abdul jabbar, Mabaadiul Fiqh Juz Rabi’ (4),
Surabaya : Sumber Ilmu
Sayyid Abdurrahman, Duruusul Fiqh : Salim Ibn
Nabhan
Salim bin Sumair al-hadhrami, Kaasyifatus Sajaa,
Surabaya : Nurul Huda
Muhammad bin Qosim Al-Ghazi, Fathul Qorib, Surabaya :
Nurul Huda
Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari, Fathul Mu’iin,
Surabaya : Nurul Huda
No comments:
Post a Comment