Monday, March 14, 2016

Makalas KLASIK EDUCATION (ILMU PENDIDIKAN)

BAB I
      Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus di pertanggung jawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagipeserta didik dan pendidik. Bahkanpengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampumendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu. Sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme, Essensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang diaksud dengan pendidikan klasik ?
2.      Apa – apa saja teori yang terdapat pada pedidikan klasik ini?
3.      Penjelasan terhadap teori – teori pendidikan klasik.
C.     Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu memberikan pemahaman kepada mahasiswa sebagai calon-calon tenaga pendidik tentang aliran-aliran klasik dalam pendidikan (empiris, nativiesme, dan konvergensi) ilmu-ilmu pendidikan, serta teori pendidikan sistematis agar dapat menangkap makna setiap gerak dinamika pemikiran-pemikiran dalam pendidikan.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENDIDIKAN KLASIK
1.      Pengertian Pendidikan Klasik
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, yang memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada prosesnya.  Isi pendidikan atau bahan pengajaran diambil dari sari ilmu pengetahuan yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli di bidangnya dan disusun secara logis dan sistematis. Misalnya teori fisika, biologi, matematika, bahasa,sejarah dan sebagainya.Perbedaan padangan tentang faktor dominan dalam perkembangan manusia tersebut menjadi dasar perbedaan pandangan tentang peran pendidikan terhadap manusia, mulai dari yang paling pesimis sampai yang paling optimis.  Aliran-aliran itu pada umumnya mengemukakan satu faktor dominan tertentu saja dan dengan demikian suatu aliran dalam pendidikan akan mengajukan gagasan  untuk mengoptimalkan faktor tersebut untuk mengembangkan manusia.
2.      Teori-teori yang terdapat dalam ilmu pendidikan klasik
a.       Aliran Empirisme
b.      Aliran Nativisme
c.       Aliran Naturalisme
d.      Aliran Konvergensi




B.     PEMIKIRAN HUMANISTIK DALAM PENDIDIKAN
1.      Pengertian Humanistik
Dalam kamus ilmiah popular awal kata humanistik, human berarti, mengenai manusia atau cara manusia. Humane berarti berperikemanusiaan. Humaniora berarti pengetahuan yang mencakup filsafat, kajian moral, seni, sejarah, dan bahasa. Humanis, penganut ajaran dan humanisme yaitu suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan keamusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaisans didasarkan atas peradaban Yunani Purba, sedangkan humanisme modern menekankan manusia secara ekslusif). Jadi humanistik adalah rasa kemanusiaan.
Sebagai suatu gerakan formal, humanistik dimulai di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 1950-an, dan terus-menerus tumbuh, baik dalam jumlah pengikut maupun dalam lingkup pengaruhnya. Psikologi humanistik lahir dari ketidak puasan terhadap jalan yang ditempuh oleh psikologi pada awal abad ke-20. Ketidak puasan itu terutama tertuju pada gambaran manusia yang dibentuk oleh psikologi modern, suatu gambaran yang partial, tidak lengkap, dan satu sisi. Para tokohnya merasa bahwa psikologi, terutama psikologi behavioristik.[1]
Membincangkan dunia pendidikan pada hakikatnya merupakan perbincangan mengenai diri kita sendiri. Artinya, perbincangan tentang manusia sebagai pelaksana pendidikan sekaligus pihak penerima pendidikan. Namun, berbeda dengan kenyataan yang terjadi di sekitar kita. Hancurnya rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat religius, serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan dan hilangnya jati diri budaya bangsa merupakan kekhawatiran manusia paling klimaks (memuncak) dalam kanca pergulatan global.[2]
Terdapat prinsip-prinsip penting dalam humanistik, yang diadaptasi dari Lundin (1996) dan Merry (1998) yang dapat dijadikan landasan manusia untuk mengembangkan potensi-potensinya dan tidak terkungkung oleh kekuasaan, adalah sebagai berikut:
a) Manusia dimotivasi oleh adanya keinginan untuk berkembang dan memenuhi potensinya.
b) Manusia bisa memilih ingin menjadi seperti apa, dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya.
c) Manusia dipengaruhi oleh cara pandangnya terhadap dirinya sendiri, yang berasal dari cara orang lain memperlakukannya.
d) Sedangkan tujuan psikologi humanistik adalah membantu manusia memutuskan apa yang dikehendakinya dan membantu memenuhi potensinya.[3]
Telah disadari bahwa sains dan teknologi lahir dan berkembang melalui pendidikan, maka salah satu terapi terhadap berbagai masalah di atas bisa didekati melalui pendidikan. Oleh karenanya, tulisan-tulisan yang mengedepankan paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan (humanistik) menjadi sangat penting dan diperlukan. Manusia merupakan makhluk yang multidimensional. Bukan saja karena manusia sebagai subjek yang secara teologis memiliki potensi untuk mengembangkan pola kehidupannya, tetapi sekaligus sebagai objek dalam keseluruhan macam dan bentuk aktifitas dan kreativitasnya.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa untuk mengembangkan potensi- potensi dalam diri manusia, serta sosialisasi nilai-nilai, keterampilan, dan sebagainya harus melalui kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, pendidik sebagai orang dewasa yang menuntun anak didik dituntut untuk menyelenggarakan praktik pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanistik). Pendidikan berparadigma humanistik, yaitu praktik pendidikan yang memandang manusia sebagai suatu kesatuan yang integralistik, harus ditegakkan, dan pandangan dasar demikian diharapkan dapat mewarnai segenap komponen sistematik pendidikan di mana pun serta apa pun jenisnya.
2.       Teori Humanistik dalam Pendidikan
Arti dari humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik dalam pendidikan. Dalam artikel “What is Humanistik Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik.[4]
Singkatnya, pendekatan humanistik diikhtisarkan sebagai berikut:
a.       Siswa akan maju menurut iramanya sendiri dengan suatu perangkat materi yang sudah ditentukan lebih dulu untuk mencapai suatu perangkat tujuan yang telah ditentukan pula dan para siswa bebas menentukan cara mereka sendiri dalam mencapai tujuan mereka sendiri.
b.      Pendidikan aliran humanistik mempunyai perhatian yang murni dalam pengembangan anak-anak perbedaan-perbedaan individual, dan.
c.       Ada perhatian yang kuat terhadap pertumbuhan pribadi dan perkembangan siswa secara individual. Tekanan pada perkembangan secara individual dan hubungan manusia-manusia ini adalah suatu usaha untuk mengimbangi keadaan-keadaan baru yang selalu meningkat yang dijumpai siswa, baik di dalam masyarakat bahkan mungkin juga di rumah mereka sendiri.
Teori humanis menekankan kasih sayang dalam pelajaran, tetapi tiada emosi tanpa kognisi dan tiada kognisi tanpa emosi. Mengkombinasikan bahan dan perasaan ini kadang-kadang disebut “ajaran tingkat tiga”. Ajaran tingkat satu ialah fakta, tingkat dua adalah konsep, dan tingkat tiga adalah nilai. Hubungan antara fakta, konsep dan nilai dapat digambarkan dengan suatu piramida. Alas piramida yang lebar menggambarkan fakta; konsep mewakili pemahaman dan perumuman yang diturunkan dari fakta, sedangkan puncak piramida menggambarkan nilai. Puncak ini menggambarkan keputusan yang diambil dalam hidup, yakni bahwa setiap keputusan hendaknya didasarkan terhadap fakta dan konsep pengajaran yang bermakna hendaknya mencakup tiga tingkat itu. Pembahasan nilai yang tergabung dalam konsep seharusnya merupakan suatu kesatuan dalam pengalaman belajar di kelas. Pengajar dan pelajar hendaknya perlu menguji dan menjelajah nilai-nilai yang mendasari suatu bahan pelajaran.[5]
Dari penjalasan itu, dapat disimpulkan bahwa ajaran kognitif dan perasaan saling berkaitan. Di bawah ini beberapa tujuan umum ajaran humanis, yaitu:
-          Perbaikan komunikasi antara individu,
-          Meniadakan individu yang saling bersaing,
-          Keterlibatan intelek dan emosi dalam suatu proses belajar,
-          Memahami dinamika bekerjasama, dan
-          Kepekaan kepada pengaruh perilaku individu lain dalam lingkungan.
Bila tujuan umum di atas telah dicapai, maka belajar akan berlangsung baik pada tingkat pribadi atau antar pribadi.11 Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarni metode-metode yang diterapkan.
a. Pemikiran Humanistik Perspektif Barat
Terdapat beberapa tokoh dalam teori humanistik ini, antara lain adalah Arthur W. Combs, Abraham Maslow, dan Carl Rogers. Adapun pendapat-pendapatnya tentang teori humanistik akan dijelaskan dibawah ini.
1.      Arthur W. Combs (1912-1999) mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs[6]

berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.12
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
Sedangkan Abraham Maslow (1908-1970), seorang teoris kepribadian yang realistik, dipandang sebagai bapak spiritual, pengembang teori, dan juru bicara yang paling cakap bagi psikologi humanistik. Terutama pengukuhan Maslow yang gigih atas keunikan dan aktualisasi diri manusialah yang menjadi symbol orientasi humanistik.

Teori pendidikan humanistik yang diusung Maslow sejatinya menghendaki suatu bentuk pendidikan baru. Pendidikan yang diyakini akan memberi tekanan lebih besar pada pengembangan potensi seseorang, terutama potensinya untuk menjadi manusiawi, memahami diri dan orang lain, dalam mencapai pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, tumbuh ke arah aktualisasi diri.
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal:
1.      suatu usaha yang positif untuk berkembang, dan
2.      kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang besifat hierarkis.
Pada diri setiap orang terdapat berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut dengan apa yang sudah ia miliki, dan sebagainya. tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri.[7]
Teorinya Maslow yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar atau fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).
2.                  Carl Rogers
Teori humanistik Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia karena manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai dengan pengertian humanisme pada umumnya, di mana humanisme adalah doktrin, sikap, dan cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu. Yang nantinya akan dihubungkan dengan pembelajaran atau pendidikan yang manusiawi.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah:
a.       Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b.      Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c.       Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d.      Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e.       Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f.        Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g.      Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h.      Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.        Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j.        Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
C.     TUJUAN PENDIDIKAN HUMANISTIK
Pendidikan humanistik mendambakan terciptanya satu proses dan pola pendidikan yang senantiasa menempatkan manusia sebagai manusia. Manusia dengan segala potensi yang dimilikinya, baik potensi yang berupa fisik, psikis, maupun spiritual yang perlu untuk mendapatkan bimbingan. Tentu, disadari dengan beragamnya potensi yang dimiliki manusia, beragam pula dalam menyikapi dan memahaminya.
Untuk itu pendidikan yang masih memilah dan mengelompokkan manusia menjadi manusia jenis pintar dan bukan pintar bukanlah ciri dari pendidikan humanis. Sebab sesuai dengan konsep dan tujuan pendidikan, terkhusus pendidikan Islam yang bertujuan terbentuknya satu pribadi seutuhnya, yang sadar akan dirinya sendiri selaku hamba Allah, dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakat serta menanamkan kemampuan manusia, untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitar ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan ibadahnya kepada Khalik pencipta alam itu sendiri.
Pendidikan ibarat sebuah wahana untuk membentuk peradaban humanistik terhadap seseorang untuk menjadi bekal diri dalam menjalani kehidupannya.66 Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus senantiasa dihormati, begitu juga proses dalam pendidikan itu sendiri harus senantiasa mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana dijelaskan bahwa saat ini dalam perjalanan peradaban manusia, akhirnya secara tegas mereka menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu hak-hak asasi manusia.
Tujuan pendidikan menurut pandangan humanistik diikhtisarkan oleh Mary Jahson, sebagai berikut
1.      Kaum humanis berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan kesadaran identitas diri yang melibatkan perkembangan konsep diri dan sistem nilai.
2.      Kaum humanis telah mengutamakan komitmen terhadap prinsip pendidikan yang memperhatikan faktor perasaan, emosi, motivasi, dan minat siswa akan mempercepat proses belajar yang bermakna dan terintegrasi secara pribadi.
3.      Perhatian kaum humanis lebih terpusat pada isi pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa sendiri. Siswa harus memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk memilih dan menentukan apa, kapan dan bagaimanaia belajar.
4.      Kaum humanis berorientasi kepada upaya memelihara perasaan pribadi yang efektif. Suatu gagasan yang menyatakan bahwa siswa dapat mengembalikan arah belajarnya sendiri, mengambil dan memenuhi tanggung jawab secara efektif serta mampu memilih tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.
5.      Kaum humanis yakin bahwa belajar adalah pertumbuhan dan perubahan yang berjalan cepat sehingga kebutuhan siswa lebih dari sekedar kebutuhan kemaren. Pendidikan humanistik mencoba mengadaptasi siswa terhadap perubahan-perubahan. Pendidikan melibatkan siswa dalam perubahan, membantunya belajar bagaimana belajar, bagaimanam memecahkan masalah, dan bagaimana melakukan perubahan di dalam kehidupan.
Unesco mennggaris bawahi tujuan pendidikan sebagai “menuju humanism ilmiah”. Artinya pendidikan bertujuan menjadikan orang semakin menjunjung tinggi nilai-nilai luhur manusia. Keluhuran manusia haruslah dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dan dapat dikatakan bahwa pada akhirnya tujuan pendidikan harus berpuncak pada adanya perubahan dalam diri peserta didik. Perubahan yang dimaksud terutama menyangkut sikap hidup, sikap terhadap kehidupan yang dialaminya.70
D.    METODE PENDIDIKAN HUMANISTIK
Mempelajari manusia, tidak dapat dipandang dari satu sisi saja karena manusia adalah makhluk yang kompleks. Pada dasarnya, perbedaan dalam mendidik siswa terutama pada metode yang digunakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan metode yang akan digunakan adalah faktor diri manusia atau sasaran didik itu sendiri, bagaimana seorang pendidik dapat memahami manusia atau sasaran pendidikannya sebagai subyek bukan sekedar obyek.
Metode humanistik dalam pendidikan mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui konrak belajar yang telah disepakati bersama dan bersifat jelas, jujur, dan positif.Pada metode humanistik, peserta atau sasaran didik dipandang sebagai individu yang kompleks dan unik sehingga dalam menanganinya tidak bias dipandang dari satu sisi saja. Dalam metode humanistik, kehidupan dan perilaku seorang yang humanis antara lain lebih merespon perasaan, lebih menggunakan gagasan siswa dan mempunyai keseimbangan antara teoritik dan praktek.
Carl R. Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran yaitu “Student- Centered Learning” yang intinya yaitu
a.       Kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya.
b.      Seseorang akan belajar secara signifikan hanya pada hal-hal yang dapat memperkuat/menumbuhkan “self”nya.
c.       Manusia tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan.
d.      Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik, dan adanya perb edaan persepsi atau pendapat difasilitasi atau diakomodir.
Pada dasarnya, setiap manusia memiliki potensi dan keunikan masing- masing yang dibentuk dari bakat dan pengaruh lingkungan, oleh karena itu perlu adanya perhatian untuk memahami tingkah laku dan persepsi dari sudut pandangnya, tentang perasaan, presepsi, kepercayaan, dan tujuan tingkah laku dari dalam (inner) yang membuat setiap individu berbeda dengan individu yang lain.
Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”.
Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari
Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.



DAFTAR PUSTAKA
Pendekatan Pembelajaran Humanistik, (http://sahaka.multiply.com .diakses pada tanggal 08 Maret 2013)
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 129.
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 133
 Muhammad A. R. Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan, (Yogyakarta: Prismashopie, 2003), h. 5.




[1] Henryk Misiak dan Virgini Staudt Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial, dan Humanistik, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 123. Ibid., h. 125
[2] Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h. 11.

[3] Ibid., h. 11.
[4] Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan, Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 63.
[5]Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), h. 240.Tresna Sastrawijaya, Proses Belajar Mengajar Diperguruan Tinggi, (jakarta: 1988), h. 40
[6]Ibid., h. 41. M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 45

[7] Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan...., h. 58-59

No comments:

Post a Comment