BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah Alangkah pentingnya kita berteori dalam
praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus di
pertanggung jawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional
yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan
hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan tidak dapat
dipertanggung jawabkan. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan
pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagipeserta didik dan
pendidik. Bahkanpengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain
memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh
alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan
memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai
agar mampumendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan
harkat nilai-nilai yang dihayati itu. Sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip
Langeveld (1955).Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik,
seperti Perenialisme, Essensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa
pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan
warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan
dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu
pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah
disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan
besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif,
sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik
menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu
kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih
peserta didik menggunakan ide-ide dan proses”penelitian”, melalui metode
ekspositori dan inkuiri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang diaksud dengan pendidikan klasik ?
2.
Apa – apa saja teori yang terdapat pada pedidikan klasik ini?
3.
Penjelasan terhadap teori – teori pendidikan klasik.
C.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu memberikan
pemahaman kepada mahasiswa sebagai calon-calon tenaga pendidik tentang
aliran-aliran klasik dalam pendidikan (empiris, nativiesme, dan konvergensi)
ilmu-ilmu pendidikan, serta teori pendidikan sistematis agar dapat menangkap
makna setiap gerak dinamika pemikiran-pemikiran dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN KLASIK
1.
Pengertian Pendidikan Klasik
Teori
pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, yang memandang bahwa
pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan
warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan
dari pada prosesnya. Isi pendidikan atau
bahan pengajaran diambil dari sari ilmu pengetahuan yang telah ditemukan dan
dikembangkan oleh para ahli di bidangnya dan disusun secara logis dan
sistematis. Misalnya teori fisika, biologi, matematika, bahasa,sejarah dan
sebagainya.Perbedaan padangan tentang faktor dominan dalam perkembangan manusia
tersebut menjadi dasar perbedaan pandangan tentang peran pendidikan terhadap manusia, mulai dari yang
paling pesimis sampai yang paling optimis.
Aliran-aliran itu pada umumnya mengemukakan satu faktor dominan tertentu
saja dan dengan demikian suatu aliran dalam pendidikan akan mengajukan
gagasan untuk mengoptimalkan faktor
tersebut untuk mengembangkan manusia.
2.
Teori-teori yang terdapat dalam ilmu pendidikan klasik
a.
Aliran Empirisme
b.
Aliran Nativisme
c.
Aliran Naturalisme
d.
Aliran Konvergensi
B. PEMIKIRAN
HUMANISTIK DALAM PENDIDIKAN
1.
Pengertian Humanistik
Dalam kamus
ilmiah popular awal kata humanistik, human berarti, mengenai manusia atau cara
manusia. Humane berarti berperikemanusiaan. Humaniora berarti pengetahuan yang
mencakup filsafat, kajian moral, seni, sejarah, dan bahasa. Humanis, penganut
ajaran dan humanisme yaitu suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan
keamusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaisans didasarkan atas peradaban
Yunani Purba, sedangkan humanisme modern menekankan manusia secara ekslusif).
Jadi humanistik adalah rasa kemanusiaan.
Sebagai suatu
gerakan formal, humanistik dimulai di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun
1950-an, dan terus-menerus tumbuh, baik dalam jumlah pengikut maupun dalam
lingkup pengaruhnya. Psikologi humanistik lahir dari ketidak puasan terhadap
jalan yang ditempuh oleh psikologi pada awal abad ke-20. Ketidak puasan itu
terutama tertuju pada gambaran manusia yang dibentuk oleh psikologi modern,
suatu gambaran yang partial, tidak lengkap, dan satu sisi. Para tokohnya merasa
bahwa psikologi, terutama psikologi behavioristik.[1]
Membincangkan
dunia pendidikan pada hakikatnya merupakan perbincangan mengenai diri kita
sendiri. Artinya, perbincangan tentang manusia sebagai pelaksana pendidikan
sekaligus pihak penerima pendidikan. Namun, berbeda dengan kenyataan yang
terjadi di sekitar kita. Hancurnya rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat
religius, serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan dan hilangnya jati diri budaya
bangsa merupakan kekhawatiran manusia paling klimaks (memuncak) dalam kanca
pergulatan global.[2]
Terdapat
prinsip-prinsip penting dalam humanistik, yang diadaptasi dari Lundin (1996)
dan Merry (1998) yang dapat dijadikan landasan manusia untuk mengembangkan
potensi-potensinya dan tidak terkungkung oleh kekuasaan, adalah sebagai
berikut:
a) Manusia dimotivasi oleh adanya keinginan untuk berkembang dan
memenuhi potensinya.
b) Manusia bisa memilih ingin menjadi seperti apa, dan tahu apa
yang terbaik bagi dirinya.
c) Manusia dipengaruhi oleh cara pandangnya terhadap dirinya
sendiri, yang berasal dari cara orang lain memperlakukannya.
d) Sedangkan tujuan psikologi humanistik adalah membantu manusia
memutuskan apa yang dikehendakinya dan membantu memenuhi potensinya.[3]
Telah
disadari bahwa sains dan teknologi lahir dan berkembang melalui pendidikan,
maka salah satu terapi terhadap berbagai masalah di atas bisa didekati melalui
pendidikan. Oleh karenanya, tulisan-tulisan yang mengedepankan paradigma pendidikan
yang berwawasan kemanusiaan (humanistik) menjadi sangat penting dan diperlukan.
Manusia merupakan makhluk yang multidimensional. Bukan saja karena manusia
sebagai subjek yang secara teologis memiliki potensi untuk mengembangkan pola
kehidupannya, tetapi sekaligus sebagai objek dalam keseluruhan macam dan bentuk
aktifitas dan kreativitasnya.
Dari
penjelasan di atas, jelas bahwa untuk mengembangkan potensi- potensi dalam diri
manusia, serta sosialisasi nilai-nilai, keterampilan, dan sebagainya harus
melalui kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, pendidik sebagai orang dewasa
yang menuntun anak didik dituntut untuk menyelenggarakan praktik pendidikan
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanistik). Pendidikan berparadigma humanistik,
yaitu praktik pendidikan yang memandang manusia sebagai suatu kesatuan yang
integralistik, harus ditegakkan, dan pandangan dasar demikian diharapkan dapat
mewarnai segenap komponen sistematik pendidikan di mana pun serta apa pun
jenisnya.
2.
Teori Humanistik dalam
Pendidikan
Arti dari humanistik yang beragam membuat batasan-batasan
aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula.
Sehingga perlu adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik
dalam pendidikan. Dalam artikel “What is Humanistik Education?”, Krischenbaum
menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik
dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe pendekatan
humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum
dalam psikologi humanistik.[4]
Singkatnya,
pendekatan humanistik diikhtisarkan sebagai berikut:
a.
Siswa akan maju menurut iramanya sendiri
dengan suatu perangkat materi yang sudah ditentukan lebih dulu untuk mencapai
suatu perangkat tujuan yang telah ditentukan pula dan para siswa bebas
menentukan cara mereka sendiri dalam mencapai tujuan mereka sendiri.
b.
Pendidikan aliran humanistik mempunyai perhatian yang murni dalam
pengembangan anak-anak perbedaan-perbedaan individual, dan.
c.
Ada perhatian yang kuat terhadap pertumbuhan pribadi dan
perkembangan siswa secara individual. Tekanan pada perkembangan secara
individual dan hubungan manusia-manusia ini adalah suatu usaha untuk
mengimbangi keadaan-keadaan baru yang selalu meningkat yang dijumpai siswa,
baik di dalam masyarakat bahkan mungkin juga di rumah mereka sendiri.
Teori humanis menekankan kasih sayang dalam pelajaran, tetapi tiada
emosi tanpa kognisi dan tiada kognisi tanpa emosi. Mengkombinasikan bahan dan
perasaan ini kadang-kadang disebut “ajaran tingkat tiga”. Ajaran tingkat satu
ialah fakta, tingkat dua adalah konsep, dan tingkat tiga adalah nilai. Hubungan
antara fakta, konsep dan nilai dapat digambarkan dengan suatu piramida. Alas
piramida yang lebar menggambarkan fakta; konsep mewakili pemahaman dan
perumuman yang diturunkan dari fakta, sedangkan puncak piramida menggambarkan
nilai. Puncak ini menggambarkan keputusan yang diambil dalam hidup, yakni bahwa
setiap keputusan hendaknya didasarkan terhadap fakta dan konsep pengajaran yang
bermakna hendaknya mencakup tiga tingkat itu. Pembahasan nilai yang tergabung
dalam konsep seharusnya merupakan suatu kesatuan dalam pengalaman belajar di
kelas. Pengajar dan pelajar hendaknya perlu menguji dan menjelajah nilai-nilai
yang mendasari suatu bahan pelajaran.[5]
Dari penjalasan itu, dapat disimpulkan bahwa ajaran kognitif dan
perasaan saling berkaitan. Di bawah ini beberapa tujuan umum ajaran humanis,
yaitu:
-
Perbaikan komunikasi antara individu,
-
Meniadakan individu yang saling bersaing,
-
Keterlibatan intelek dan emosi dalam suatu proses belajar,
-
Memahami dinamika bekerjasama, dan
-
Kepekaan kepada pengaruh perilaku individu lain dalam lingkungan.
Bila tujuan umum di atas telah dicapai, maka belajar akan
berlangsung baik pada tingkat pribadi atau antar pribadi.11 Aplikasi teori
humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses pembelajaran yang
mewarni metode-metode yang diterapkan.
a. Pemikiran Humanistik Perspektif Barat
Terdapat beberapa tokoh dalam teori humanistik ini, antara lain
adalah Arthur W. Combs, Abraham Maslow, dan Carl Rogers. Adapun
pendapat-pendapatnya tentang teori humanistik akan dijelaskan dibawah ini.
1.
Arthur W. Combs (1912-1999) mencurahkan banyak perhatian pada dunia
pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering
digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa
memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan
mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena
mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting
mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah
dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba
memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah
perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang
ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs[6]
berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi
bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan
sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran
itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa siswa untuk memperoleh
arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan
kehidupannya.12
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti
dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil
(1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi
dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang
pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan
dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
Sedangkan Abraham Maslow (1908-1970), seorang teoris kepribadian
yang realistik, dipandang sebagai bapak spiritual, pengembang teori, dan juru
bicara yang paling cakap bagi psikologi humanistik. Terutama pengukuhan Maslow
yang gigih atas keunikan dan aktualisasi diri manusialah yang menjadi symbol
orientasi humanistik.
Teori pendidikan humanistik yang diusung Maslow sejatinya
menghendaki suatu bentuk pendidikan baru. Pendidikan yang diyakini akan memberi
tekanan lebih besar pada pengembangan potensi seseorang, terutama potensinya
untuk menjadi manusiawi, memahami diri dan orang lain, dalam mencapai pemenuhan
atas kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, tumbuh ke arah aktualisasi diri.
Teori
Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal:
1.
suatu usaha yang positif untuk berkembang, dan
2.
kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow
mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
yang besifat hierarkis.
Pada diri setiap orang terdapat berbagai perasaan takut
seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil
kesempatan, takut dengan apa yang sudah ia miliki, dan sebagainya. tetapi di
sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan,
keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri
menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri.[7]
Teorinya
Maslow yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang
Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau
hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar atau fisiologis) sampai
yang paling tinggi (aktualisasi diri).
2.
Carl Rogers
Teori
humanistik Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia karena
manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai
dengan pengertian humanisme pada umumnya, di mana humanisme adalah doktrin,
sikap, dan cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan
menekankan pada kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri
untuk maksud tertentu. Yang nantinya akan dihubungkan dengan pembelajaran atau
pendidikan yang manusiawi.
Dari
bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar
humanistik yang penting diantaranya ialah:
a.
Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b. Belajar yang
signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi
dengan maksud-maksud sendiri.
c. Belajar yang
menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap
mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d. Tugas-tugas
belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan
apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e. Apabila ancaman
terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara
yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan
melakukannya.
g. Belajar
diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h. Belajar
inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun
intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.
Kepercayaan terhadap diri sendiri,
kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan
untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain
merupakan cara kedua yang penting.
j.
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini
adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus
terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses
perubahan itu.
C.
TUJUAN PENDIDIKAN HUMANISTIK
Pendidikan
humanistik mendambakan terciptanya satu proses dan pola pendidikan yang
senantiasa menempatkan manusia sebagai manusia. Manusia dengan segala potensi
yang dimilikinya, baik potensi yang berupa fisik, psikis, maupun spiritual yang
perlu untuk mendapatkan bimbingan. Tentu, disadari dengan beragamnya potensi
yang dimiliki manusia, beragam pula dalam menyikapi dan memahaminya.
Untuk
itu pendidikan yang masih memilah dan mengelompokkan manusia menjadi manusia
jenis pintar dan bukan pintar bukanlah ciri dari pendidikan humanis. Sebab
sesuai dengan konsep dan tujuan pendidikan, terkhusus pendidikan Islam yang
bertujuan terbentuknya satu pribadi seutuhnya, yang sadar akan dirinya sendiri
selaku hamba Allah, dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki
rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakat serta menanamkan
kemampuan manusia, untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitar ciptaan Allah
bagi kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan ibadahnya kepada Khalik
pencipta alam itu sendiri.
Pendidikan
ibarat sebuah wahana untuk membentuk peradaban humanistik terhadap seseorang
untuk menjadi bekal diri dalam menjalani kehidupannya.66 Dengan demikian,
pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus senantiasa
dihormati, begitu juga proses dalam pendidikan itu sendiri harus senantiasa
mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana dijelaskan bahwa saat ini
dalam perjalanan peradaban manusia, akhirnya secara tegas mereka menetapkan
bahwa pendidikan merupakan salah satu hak-hak asasi manusia.
Tujuan
pendidikan menurut pandangan humanistik diikhtisarkan oleh Mary Jahson, sebagai
berikut
1.
Kaum humanis berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
eksplorasi dan mengembangkan kesadaran identitas diri yang melibatkan
perkembangan konsep diri dan sistem nilai.
2.
Kaum humanis telah mengutamakan komitmen terhadap prinsip
pendidikan yang memperhatikan faktor perasaan, emosi, motivasi, dan minat siswa
akan mempercepat proses belajar yang bermakna dan terintegrasi secara pribadi.
3.
Perhatian kaum humanis lebih terpusat pada isi pelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa sendiri. Siswa harus memiliki kebebasan
dan tanggung jawab untuk memilih dan menentukan
apa, kapan dan bagaimanaia belajar.
4.
Kaum humanis berorientasi kepada upaya memelihara perasaan pribadi
yang efektif. Suatu gagasan yang menyatakan bahwa siswa dapat mengembalikan
arah belajarnya sendiri, mengambil dan memenuhi tanggung jawab secara efektif
serta mampu memilih tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.
5.
Kaum humanis yakin bahwa belajar adalah pertumbuhan dan perubahan
yang berjalan cepat sehingga kebutuhan siswa lebih dari sekedar kebutuhan
kemaren. Pendidikan humanistik mencoba mengadaptasi siswa terhadap
perubahan-perubahan. Pendidikan melibatkan siswa dalam perubahan, membantunya
belajar bagaimana belajar, bagaimanam memecahkan masalah, dan bagaimana
melakukan perubahan di dalam kehidupan.
Unesco
mennggaris bawahi tujuan pendidikan sebagai “menuju humanism ilmiah”.
Artinya pendidikan bertujuan menjadikan orang semakin menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur manusia. Keluhuran manusia haruslah dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Dan dapat dikatakan bahwa pada akhirnya tujuan
pendidikan harus berpuncak pada adanya perubahan dalam diri peserta didik.
Perubahan yang dimaksud terutama menyangkut sikap hidup, sikap terhadap
kehidupan yang dialaminya.70
D.
METODE PENDIDIKAN HUMANISTIK
Mempelajari
manusia, tidak dapat dipandang dari satu sisi saja karena manusia adalah
makhluk yang kompleks. Pada dasarnya, perbedaan dalam mendidik siswa terutama
pada metode yang digunakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan
metode yang akan digunakan adalah faktor diri manusia atau sasaran didik itu
sendiri, bagaimana seorang pendidik dapat memahami manusia atau sasaran
pendidikannya sebagai subyek bukan sekedar obyek.
Metode
humanistik dalam pendidikan mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui konrak
belajar yang telah disepakati bersama dan bersifat jelas, jujur, dan positif.Pada
metode humanistik, peserta atau sasaran didik dipandang sebagai individu yang
kompleks dan unik sehingga dalam menanganinya tidak bias dipandang
dari satu sisi saja. Dalam metode humanistik, kehidupan dan perilaku seorang
yang humanis antara lain lebih merespon perasaan, lebih menggunakan gagasan
siswa dan mempunyai keseimbangan antara teoritik dan praktek.
Carl R. Rogers
(1951) mengajukan konsep pembelajaran yaitu “Student- Centered Learning” yang
intinya yaitu
a.
Kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa
menfasilitasi belajarnya.
b.
Seseorang akan belajar secara signifikan hanya pada hal-hal yang
dapat memperkuat/menumbuhkan “self”nya.
c.
Manusia tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan.
d.
Pendidikan akan membelajarkan peserta didik
secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik, dan adanya perb
edaan persepsi atau pendapat difasilitasi atau diakomodir.
Pada dasarnya, setiap manusia memiliki potensi dan
keunikan masing- masing yang dibentuk dari bakat dan pengaruh lingkungan, oleh
karena itu perlu adanya perhatian untuk memahami tingkah laku dan persepsi dari
sudut pandangnya, tentang perasaan, presepsi, kepercayaan, dan tujuan tingkah
laku dari dalam (inner) yang membuat setiap individu berbeda dengan individu
yang lain.
Dari
beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang
humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum Humanizing
of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak
manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya
mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika
Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P.
Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”.
Pendidikan
model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses
pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas
diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan
tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek
metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
Active
learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari
model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi
otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan
keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu
aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari
gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka
pelajari
Dalam
active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa,
dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara
mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan
cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan
ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan
mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik.
Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat
diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Pendekatan
Pembelajaran Humanistik, (http://sahaka.multiply.com .diakses pada tanggal 08
Maret 2013)
Wasty Soemanto,
Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 129.
M. Arifin,
Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 133
Muhammad A. R. Pendidikan di Alaf Baru:
Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan, (Yogyakarta: Prismashopie, 2003), h. 5.
[1] Henryk Misiak dan Virgini Staudt Sexton, Psikologi Fenomenologi,
Eksistensial, dan Humanistik, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 123.
Ibid., h. 125
[2] Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori,
dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009),
h. 11.
[4] Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan, Konsep dan
Aplikasinya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 63.
[5]Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2004), h. 240.Tresna Sastrawijaya, Proses Belajar Mengajar
Diperguruan Tinggi, (jakarta: 1988), h. 40
No comments:
Post a Comment